Kerajaan dalam Republik
Dinamika Pajak dan Tanah di Yogyakarta pasca 1945
Perubahan
sosial yang terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun sangat banyak dan
meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Sekedar untuk menyebutkan
beberapa contoh yakni kekuasaan pemerintahan Belanda diganti kekuasaan Jepang
dan kemudian pemerintahan nasional, kedudukan golongan Belanda sebagai upper class
diganti golongan militer
Jepang sebagai ruling class yang
kemudian jatuh juga karena revolusi nasional, golongan kaum politik nasional
yang di zaman penjajahan Belanda ditempatkan sebagai opponen Pangreh Pradja
mendapat kekuasaan pemerintahan di atas Pangreh Pradja, sistem sosial yang
biasanya berorientasi pada kewibawaan generasi dewasa dan tua dengan cepat
berubah menjadi sistem sosial yang mengikuti arah perkembangan generasi muda.
Perubahan-perubahan tersebut bermula pada tingkat pemerintahan nasional akan
tetapi dengan cepat menimbulkan perubahan-perubahan pada pemerintahan dan
masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya.
Oleh
karena itu pemerintahan di Yogyakarta dewasa ini ada satu hal unik dan yang
tidak dapat dialami oleh masyarakat lain diseluruh tanah air. Yang kami maksud
adalah pengalaman berubahan ibukota Kasultanan Yogyakarta yang biasa hidup
tenang dan tradisional menjadi ibukota Republik Indonesia dan sekaligus menjadi
markas besar revolusi nasional Indonesia. Perubahan kondisi ekonomi pun terjadi di Daerah Istimewa
Yogyakarta pada masa pasca proklamasi kemerdekaan. Keadaan perekonomian
Indonesia mengalami kondisi yang sangat terpuruk dengan terjadinya inflasi dan
pemerintah tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia.
Terutama mata uang Jepang dan mata uang Belanda, selain itu keadaan semakin memburuk akibat kas Negara
dan bea cukai dalam keadaan nihil, begitu pun dengan pajak. Blokade Belanda
memperparah keadaan perekonomian Nasional, pemerintah mengumpulkan berbagai
data tradisional seperti monopoli pemerintah dan beberapa sistem pajak yang
pernah ditarik oleh Jepang.
Banyak
perubahan perekonomian yang terjadi mulai dari tataran paling bawah yakni
rakyat hingga kesultanan di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal inilah yang
akan kami jabarkan dalam penulisan paper ini. Diantaranya yakni yang paling
berpengaruh dalam perekonomiannya ialah dinamika pembayaran pajak dan sewa
tanah pasca kemerdekaan (1945) di Yogyakarta. Sebab kita mengetahui bahwasanya
Indonesia kala itu sedang dilanda kemelut perekonomian yang sangat buruk, mulai dari monopoli pemerintahan hngga sistem
pajaknya. Oleh karena itu kami akan memaparkan apa yang terjadi mengenai sistem
yang ada di Keraton Yogyakarta pasca kemerdakaan dalam mengelola tanah dan
menjalankan pajak di daerah kekuasaannya. Sehingga nantinya dapat dijadikan
bahan acuan dalam memperbaiki perekonomian masyarakat Indonesia pada umumnya.
Hal inilah yang akan dijadikan tolak ukur nantinya dalam pengambilan
kebijaksanaan pemerintah Indonesia terkait sistem perekonomian dan pajak di
Indonesia. semoga hal yang dicita-citakan penulis ini dapat terealisasi dengan
baik dan menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam memajukan perekonomian
Indonesia nantinya.
Keadaan
terhadap kedudukan kaum tani di Yogyakarta dalam hubungannya dengan
pemerintahan dan masyarakat dalam perspektif sejarah bisa disimpulkan sebagai
“suatu hal dimana masa sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918 kaum tani
hanya mempunyai kewajiban dan tidak mempunyai hak, dan diantara 1918 sampai
1951 mereka mempunyai kewajiban dan hak, dan sejak dihapuskannya pajak tanah
tahun 1951 mereka hanya mempunyai hak dan bisa dikatakan tidak mempunyai
kewajiban”.
A. Hak-Hak Atas
Tanah
Pada konsep kerajaan Jawa
Tradisional, hanya akan mengakui satu kekuasaan yakni sultan. Sultanlah yang
memiliki segala sesuatu yang ada di dalam kerajaan. Sangatlah bertentangan
dengan prinsip demokrasi menurut pengetahuan bangsa Barat, kerajaan Jawa
mempunyai sistem pemerintahan yakni dari sultan, oleh sultan, dan untuk sultan.
Masyarakat pedesaan pada masa itu akan dihancurkan oleh sistem tanah lungguh
dan kemudian sistem penyewaan tanah hingga tidak ada yang tersisa untuk mereka.
Demikian besarnya beban yang
ditanggung oleh para kaum tani pada kala itu dan demikian kecil imbalan yang
mereka peroleh sehingga tiap tanah yang diberikan pada petani disebut sanggan, yang artinya adalah “beban”.
Sebutan demikian tidak dikenal diluar kerajaan di Jawa Tengah, sebab daerah
lain tidak pernah memiliki sistem seperti itu. Sebutan ini pun masih ada hingga
sekarang sebab tanah yang dimiliki dengan hak milik menurut hukum positif dan
bisa diwariskan.
Perubahan hukum tanah membawa banyak
perubahan penting dalam organisasi sosial penduduk pedesaan. Di masa tanah
lungguh, kawula Sultan tak mempunyai perasaan tehadap tanah, mereka tahu bahwa
mereka bisa tinggal selama mereka sanggup melaksanakan tugas-tugasnya yang
sangat banyak dan mereka juga dapat diusir oleh bekel setiap saat. Oleh karena
itulah perpindahan penduduk di daerah pedesaan sangat tinggi. Namun setelah
adanya hak perorangan dan hak waris terhadap tanah mengakibatkan adanya jalinan
antara petani dengan tanahnya. Sebab kala itu petani memahami bahwa tanah
adalah sumber hidup tetap bagi dirinya, keluarganya, dan ahli warisnya.
B.
Pola
Kepemilikan Tanah Kasultanan
Dalam
hal ini pemilikan tanah mengandung pengertian memiliki tanah secara formal,
yakni tanah yang dimiliki seseorang memiliki nilai ekonomi yang dapat
dipindahkan oleh pemilik dengan diwariskan, dijual, disewakan, dan sebagainya.[1]
Konsep “pemilikan” itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang
memiliki tanah adalah menjadi penguasa atas tanah itu dan sebaliknya orang yang
menguasai tanah belum tentu menjadi pemilik tanah itu. Dengan demikian, konsep
pemilikan disini
berbeda dengan konsep tradisional yang menunjukkan bahwa “pemilikan” mempunyai
pengertian “penguasaan” dan sebaliknya “penguasaan” di
dalamnya mengandung pengertian “pemilikan”.
Pada awal
abad ke-XX, sultan memiliki tanah yang sangat luas dan sekaligus memiliki
kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Kota Yogyakarta. Pada waktu itu,
sultan dianggap sebagai penguasa dan pemilik atas tanah yang dapat mengatur
sistem penggunaan tanah kekuasaannya. Oleh karena itu, sultan telah mengatur
sistem penggunaan tanah di wilayah Ibukota Yogyakarta sesuai dengan kedudukan
dan fungsinya sebagai berikut :
a.
Tanah
yang dipakai sendiri oleh sultan yaitu keraton.
b.
Tanah-tanah
yang oleh sultan diserahkan dengan cuma-cuma untuk dipakai Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), Benteng Vredeburg, kantor karesidenan,
stasiun, dan lain-lain.
c.
Tanah-tanah
dengan eigendom atau opstal yang diberikan kepada orang-orang Tionghoa dan
Belanda.
d.
Tanah yang diserahkan
untuk dipakai pegawai-pegawai sultan yang dikelola secara berkelompok
(krajan/tempat tinggal pejabat) yang disebut tanah golongan.
e.
Tanah yang diserahkan
kepada kerabat/sentana sultan dengan status hak pakai yang disebut tanah
kesentanaan.[2]
f.
Tanah-tanah pekarangan
bupati yang semula termasuk tanah golongan, tetapi lambat laun dilepaskan dari
ikatan golongan dan menjadi tanah pekarangan dari pegawai-pegawai tinggi
lainnya.
g.
Tanah-tanah pekarangan dan
perkebunan terletak diluar pusat ibukota yang diberikan dengan hak pakai kepada
pepatih dalem yang disebut kebonan dan tanah untuk kepentingan umum.
h.
Tanah-tanah pekarangan
rakyat jelata, termasuk tanah yang ada di bawah kekuasaan sultan.
C.
Sistem Pajak atas Tanah Kasultanan
Dalam
melaksanakan pemerintahannya raja dibantu oleh para birokrat. Para birokrat ini
terdiri atas sentana (keluarga raja) dan narawita (pejabat tinggi keraton) yang
diangkat oleh raja berdasarkan status askripsi yang dimilikinya. Aparat
pemerintahan yang menjalankan pemerintahannya mendapat imbalan jasa dari raja
yang berupa tanah. Tanah ini dikenal sebagai tanah lungguh.[4]
Tanah lungguh
yang diserahkan raja kepada para sentana dan narawita itu dapat diwariskan
kepada keturunannya atau anak sulungnya sampai dengan keturunan kedua (anak)
jika anaknya mendapat persetujuan dari raja untuk mengganti kedudukan ayahnya.[5]
Sejak pendaftaran tanah dilakukan,
para pemiliknya dikenakan pajak verponding.[6] Pajak itu diperlukan untuk
membiayai kehidupan raja, bangsawan, dan abdi dalem yang melaksanakan
pemerintahan kerajaan. Di daerah kuthagara secara politis dan ekonomis terdapat
praktik-praktik eksploitasi tradisional yang dilakukan oleh para raja dan
bangsawan kepada penduduk. Hal ini dapat dipahami sehubungan dengan adanya
penciutan wilayah kuthagara yang mengakibatkan krisis ekonomi di istana.
Keluarga keraton sangat memerlukan biaya hidup. Pajak verponding harus
dibayarkan di muka oleh para penduduk dua kali dalam satu tahun yaitu pada 1
Juni dan 1 November. Apabila penduduk tidak dapat membayar pajak pada waktu
yang telah ditentukan, mereka akan dikenai denda sebesar f.5,- setiap nilai
pajak f.100,-. Besarnya pajak dan denda ditetapkan oleh patih dan residen
Yogyakarta, serta komisi yang beranggotakan tiga orang. Dalam menetapkan pajak,
komisi memperoleh keterangan dari para priyayi dan pejabat-pejabat kasultanan
yang di sampaikan kepada residen Yogyakarta.
Perusahaan atau
penduduk yang tidak mampu membayar pajak diwajibkan untuk menyerahkan atau
dicabut hak pakai tanahnya dan bahkan diperintahkan untuk meninggalkan
(kathundung) dari tanah yang mereka tempati. Pada awal mulanya, penduduk yang
memakai tanah kasultanan, tetapi tidak dapat membayar pajaknya, diperingatkan
untuk membayar atau mengangsurnya. Apabila setelah mendapat peringatan mereka
tetap tidak dapat membayar atau mengangsurnya, mereka akan diajukan ke
pengadilan untuk memecahkan permasalahan itu.
Meskipun
tunggakan pembayaran pajak di kalangan masyarakat kepada kasultanan selalu ada
pada setiap tahunnya, pajak yang diterima kasultanan dapat digunakan untuk
membiayai kebutuhan kerajaan. Pajak yang diterima kasultanan atas tanah-tanah
kekuasaan yang dipakai dan disewa oleh penduduk, orang-orang nonpribumi, dan
perusahaan di Kota Yogyakarta.
Kesimpulan
Implikasi suatu
perekonomian yang telah berubah akan berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi
yang diterapkan oleh pemerintahnya. Pemerintahan Belanda, Jepang dan Indonesia
terhadap masyarakat di Yogyakarta memberikan beberapa permasalahan sosial dari
sebuah pembangunan ekonomi Yogyakarta, terutama di kawasan pedesaan. Pada masa
kerajaan Mataram, sebelum terpecahnya Surakarta dan Yogyakarta, VOC berhasil
memaksa penguasaan Jawa untuk menyetujui hak monopolinya dalam pembuatan kapal
di pantai utara Jawa dan hak pelayaran di Laut Jawa.[7]
Sebelum abad
XX, penguasaan dan pemilikan tanah di Kota Yogyakarta bersifat feodal.
Penguasaan tanah banyak ditentukan dengan sistem lungguh. Dalam sistem lungguh,
tanah dimiliki dan dikuasai oleh sultan (vorsten domein),
sedangkan rakyat (kawula dalem) yang tinggal sebagai penghuni tanah itu
hanya memiliki hak garapan (nggadhuh) dan diwajibkan menyerahkan
sebagian hasil garapannya. Untuk mengawasi dan mengelola tanah kasultanan,
sultan memberikan kepercayaannya kepada kerabat sultan (sentana dalem)
dan para pegawai (priyayi) dengan status sebagai penggaduh tanah
sultan. Mereka itu disebut patuh, sedangkan tanah yang dikuasakan kepada
mereka disebut “tanah kepatuhan”. Dengan haknya ini, para patuh diberi
wewenang untuk mengelola tanah yang pasrahkan kepadanya.
Dalam mengawasi
tanah-tanah yang dikuasainya para patuh menyerahkan hak-hak kekuasaannya kepada
para pembantu mereka. Para pembantu patuh ini disebut lurah. Mereka memiliki
kekuasaan yang besar atas tanah-tanah sultan sedangkan rakyat sebagai
penggarapnya tidak mempunyai hak apa-apa atas tanah yang digarapnya. Penguasaan
tanah dengan sistem lungguh kepada bangsawan dan pegawai kraton sebagai gaji
itu menimbulkan adanya dua lapisan sosial dalam masyarakat yaitu wong gedhe dan
wong cilik. Wong gedhe merupakan lapisan sosial yang memiliki hak-hak istimewa
dari keraton, di antaranya hak memungut pajak dan hasil dari sebagian tanah
lungguhnya. Adapun wong cilik merupakan lapisan sosial di bawahnya yang tidak
memiliki hak-hak istimewa, mereka hanya memiliki hak atas tanah sebagai hak
penggarap dan pemakai.
Kekuasaan sultan atas tanah-tanah di wilayah kekuasaannya memungkinkan
sultan mengatur sistem pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan kedudukan
dan fungsinya, di antaranya tanah keraton, tanah yang digunakan untuk kepentingan
umum, dan tanah yang diberikan kepada penduduk. Pengaturan hak milik tanah
Kasultanan Yogyakarta diwujudkan dalam undang-undang, adat kebiasaan,
praktikpraktik yang mengatur hak dan kewajiban, serta hubungan orang dengan
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawati. 2011. Dari
Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat. Yogyakarta : STPN Press.
Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan
Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Kutoyo DKK, Sutrisno. 1997. Sejarah
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[1]
Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius,1977), hlm.
698.
2 Notoyudo, “Hak Sri Sultan Atas Tanah di Yogyakarta” (tp, 1975),
hlm. 9-10
3 Sawah/tanah
maosan tidak ada penjelasan lebih lanjut dan data-data yang akurat belum
ditemukan.
4 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920 (Yogya: P.T. Tiara Wacana,
1991), hlm. 28.
5 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 1 tahun 1926.
6 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 24, tahun 1925.
7 D.H. Burger, Structural Changes in Javanese Society:
The Supra Village Sphere (Comell Modern Indonesia Project, Seri Terjemahan;
Ithaca, N.Y., 1959), hal 7: “perdagangan beras Jawa ke seberang lautan hancur
akibat kebijaksanaan Mataram. Ada laporan-laporan yang yang menyatakan bahwa
dari tahun 1641 hingga 1656 penguasa Mataram telah melarang rakyatnya untuk
melakukan perdagangan di laut. Sunanlah yang memonopoli perdagangan itu. Tak
seorangpun di kalangan rakyatnya yang akan memperoleh keuntungan semenjak itu.
Beras di monopoli oleh kerajaan. Hal. 9: kemudian, sesudah Mataram di tahun
1677 menjadi protektorat VOC, absolutisme kerajaan zaman Mataram pertama
melemah. Namun, perdagangan laut lenyap untuk seterusnya. Ekspor padi di tahun
1705 menjadi suatu upeti wajib dari Mataram kepada VOC...Masyarakat Jawa
kehilangan perdagangan lautnya di abad ketujuh belas dan sejak itu yang ada
hanyalah bentuk-bentuk organisasi yang bersifat agraris-feodal di daerah
pedalaman. Di desa-desa perekonomian hampir tanpa peredaran uang dan pertukaran
tertutup dan swasembada.
[3]
Sawah/tanah maosan tidak ada penjelasan lebih lanjut
dan data-data yang akurat belum ditemukan.
[4]
Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920 (Yogya: P.T. Tiara Wacana,
1991), hlm. 28.
[7]
D.H. Burger, Structural Changes in Javanese Society:
The Supra Village Sphere (Comell Modern Indonesia Project, Seri Terjemahan;
Ithaca, N.Y., 1959), hal 7: “perdagangan beras Jawa ke seberang lautan hancur
akibat kebijaksanaan Mataram. Ada laporan-laporan yang yang menyatakan bahwa
dari tahun 1641 hingga 1656 penguasa Mataram telah melarang rakyatnya untuk
melakukan perdagangan di laut. Sunanlah yang memonopoli perdagangan itu. Tak
seorangpun di kalangan rakyatnya yang akan memperoleh keuntungan semenjak itu.
Beras di monopoli oleh kerajaan. Hal. 9: kemudian, sesudah Mataram di tahun
1677 menjadi protektorat VOC, absolutisme kerajaan zaman Mataram pertama
melemah. Namun, perdagangan laut lenyap untuk seterusnya. Ekspor padi di tahun
1705 menjadi suatu upeti wajib dari Mataram kepada VOC...Masyarakat Jawa
kehilangan perdagangan lautnya di abad ketujuh belas dan sejak itu yang ada
hanyalah bentuk-bentuk organisasi yang bersifat agraris-feodal di daerah
pedalaman. Di desa-desa perekonomian hampir tanpa peredaran uang dan pertukaran
tertutup dan swasembada.
0 komentar