Kerajaan dalam Republik

by - November 18, 2016

Dinamika Pajak dan Tanah di Yogyakarta pasca 1945
            Perubahan sosial yang terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun sangat banyak dan meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Sekedar untuk menyebutkan beberapa contoh yakni kekuasaan pemerintahan Belanda diganti kekuasaan Jepang dan kemudian pemerintahan nasional, kedudukan golongan Belanda sebagai upper class
diganti golongan militer Jepang sebagai ruling class yang kemudian jatuh juga karena revolusi nasional, golongan kaum politik nasional yang di zaman penjajahan Belanda ditempatkan sebagai opponen Pangreh Pradja mendapat kekuasaan pemerintahan di atas Pangreh Pradja, sistem sosial yang biasanya berorientasi pada kewibawaan generasi dewasa dan tua dengan cepat berubah menjadi sistem sosial yang mengikuti arah perkembangan generasi muda. Perubahan-perubahan tersebut bermula pada tingkat pemerintahan nasional akan tetapi dengan cepat menimbulkan perubahan-perubahan pada pemerintahan dan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya.
            Oleh karena itu pemerintahan di Yogyakarta dewasa ini ada satu hal unik dan yang tidak dapat dialami oleh masyarakat lain diseluruh tanah air. Yang kami maksud adalah pengalaman berubahan ibukota Kasultanan Yogyakarta yang biasa hidup tenang dan tradisional menjadi ibukota Republik Indonesia dan sekaligus menjadi markas besar revolusi nasional Indonesia. Perubahan  kondisi ekonomi pun terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa pasca proklamasi kemerdekaan. Keadaan perekonomian Indonesia mengalami kondisi yang sangat terpuruk dengan terjadinya inflasi dan pemerintah tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia. Terutama mata uang Jepang dan mata uang Belanda, selain itu  keadaan semakin memburuk akibat kas Negara dan bea cukai dalam keadaan nihil, begitu pun dengan pajak. Blokade Belanda memperparah keadaan perekonomian Nasional, pemerintah mengumpulkan berbagai data tradisional seperti monopoli pemerintah dan beberapa sistem pajak yang pernah ditarik oleh Jepang.
            Banyak perubahan perekonomian yang terjadi mulai dari tataran paling bawah yakni rakyat hingga kesultanan di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal inilah yang akan kami jabarkan dalam penulisan paper ini. Diantaranya yakni yang paling berpengaruh dalam perekonomiannya ialah dinamika pembayaran pajak dan sewa tanah pasca kemerdekaan (1945) di Yogyakarta. Sebab kita mengetahui bahwasanya Indonesia kala itu sedang dilanda kemelut perekonomian yang sangat buruk,  mulai dari monopoli pemerintahan hngga sistem pajaknya. Oleh karena itu kami akan memaparkan apa yang terjadi mengenai sistem yang ada di Keraton Yogyakarta pasca kemerdakaan dalam mengelola tanah dan menjalankan pajak di daerah kekuasaannya. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan acuan dalam memperbaiki perekonomian masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal inilah yang akan dijadikan tolak ukur nantinya dalam pengambilan kebijaksanaan pemerintah Indonesia terkait sistem perekonomian dan pajak di Indonesia. semoga hal yang dicita-citakan penulis ini dapat terealisasi dengan baik dan menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam memajukan perekonomian Indonesia nantinya.

            Keadaan terhadap kedudukan kaum tani di Yogyakarta dalam hubungannya dengan pemerintahan dan masyarakat dalam perspektif sejarah bisa disimpulkan sebagai “suatu hal dimana masa sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918 kaum tani hanya mempunyai kewajiban dan tidak mempunyai hak, dan diantara 1918 sampai 1951 mereka mempunyai kewajiban dan hak, dan sejak dihapuskannya pajak tanah tahun 1951 mereka hanya mempunyai hak dan bisa dikatakan tidak mempunyai kewajiban”.
A.    Hak-Hak Atas Tanah
            Pada konsep kerajaan Jawa Tradisional, hanya akan mengakui satu kekuasaan yakni sultan. Sultanlah yang memiliki segala sesuatu yang ada di dalam kerajaan. Sangatlah bertentangan dengan prinsip demokrasi menurut pengetahuan bangsa Barat, kerajaan Jawa mempunyai sistem pemerintahan yakni dari sultan, oleh sultan, dan untuk sultan. Masyarakat pedesaan pada masa itu akan dihancurkan oleh sistem tanah lungguh dan kemudian sistem penyewaan tanah hingga tidak ada yang tersisa untuk mereka.         Demikian besarnya beban yang ditanggung oleh para kaum tani pada kala itu dan demikian kecil imbalan yang mereka peroleh sehingga tiap tanah yang diberikan pada petani disebut sanggan, yang artinya adalah “beban”. Sebutan demikian tidak dikenal diluar kerajaan di Jawa Tengah, sebab daerah lain tidak pernah memiliki sistem seperti itu. Sebutan ini pun masih ada hingga sekarang sebab tanah yang dimiliki dengan hak milik menurut hukum positif dan bisa diwariskan.
            Perubahan hukum tanah membawa banyak perubahan penting dalam organisasi sosial penduduk pedesaan. Di masa tanah lungguh, kawula Sultan tak mempunyai perasaan tehadap tanah, mereka tahu bahwa mereka bisa tinggal selama mereka sanggup melaksanakan tugas-tugasnya yang sangat banyak dan mereka juga dapat diusir oleh bekel setiap saat. Oleh karena itulah perpindahan penduduk di daerah pedesaan sangat tinggi. Namun setelah adanya hak perorangan dan hak waris terhadap tanah mengakibatkan adanya jalinan antara petani dengan tanahnya. Sebab kala itu petani memahami bahwa tanah adalah sumber hidup tetap bagi dirinya, keluarganya, dan ahli warisnya.
B.     Pola Kepemilikan Tanah Kasultanan
            Dalam hal ini pemilikan tanah mengandung pengertian memiliki tanah secara formal, yakni tanah yang dimiliki seseorang memiliki nilai ekonomi yang dapat dipindahkan oleh pemilik dengan diwariskan, dijual, disewakan, dan sebagainya.[1] Konsep “pemilikan” itu dengan jelas menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang memiliki tanah adalah menjadi penguasa atas tanah itu dan sebaliknya orang yang menguasai tanah belum tentu menjadi pemilik tanah itu. Dengan demikian, konsep pemilikan disini berbeda dengan konsep tradisional yang menunjukkan bahwa “pemilikan” mempunyai pengertian “penguasaan” dan sebaliknya “penguasaan” di dalamnya mengandung pengertian “pemilikan”.
Pada awal abad ke-XX, sultan memiliki tanah yang sangat luas dan sekaligus memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Kota Yogyakarta. Pada waktu itu, sultan dianggap sebagai penguasa dan pemilik atas tanah yang dapat mengatur sistem penggunaan tanah kekuasaannya. Oleh karena itu, sultan telah mengatur sistem penggunaan tanah di wilayah Ibukota Yogyakarta sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagai berikut :
a.       Tanah yang dipakai sendiri oleh sultan yaitu keraton.
b.      Tanah-tanah yang oleh sultan diserahkan dengan cuma-cuma untuk dipakai Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), Benteng Vredeburg, kantor karesidenan, stasiun, dan lain-lain.
c.       Tanah-tanah dengan eigendom atau opstal yang diberikan kepada orang-orang Tionghoa dan Belanda.
d.      Tanah yang diserahkan untuk dipakai pegawai-pegawai sultan yang dikelola secara berkelompok (krajan/tempat tinggal pejabat) yang disebut tanah golongan.
e.       Tanah yang diserahkan kepada kerabat/sentana sultan dengan status hak pakai yang disebut tanah kesentanaan.[2]
f.       Tanah-tanah pekarangan bupati yang semula termasuk tanah golongan, tetapi lambat laun dilepaskan dari ikatan golongan dan menjadi tanah pekarangan dari pegawai-pegawai tinggi lainnya.
g.      Tanah-tanah pekarangan dan perkebunan terletak diluar pusat ibukota yang diberikan dengan hak pakai kepada pepatih dalem yang disebut kebonan dan tanah untuk kepentingan umum.
h.      Tanah-tanah pekarangan rakyat jelata, termasuk tanah yang ada di bawah kekuasaan sultan.
i.        Sawah-sawah yang diurus oleh bekel yang disebut dengan tanah maosan.[3]

C.    Sistem Pajak atas Tanah Kasultanan
            Dalam melaksanakan pemerintahannya raja dibantu oleh para birokrat. Para birokrat ini terdiri atas sentana (keluarga raja) dan narawita (pejabat tinggi keraton) yang diangkat oleh raja berdasarkan status askripsi yang dimilikinya. Aparat pemerintahan yang menjalankan pemerintahannya mendapat imbalan jasa dari raja yang berupa tanah. Tanah ini dikenal sebagai tanah lungguh.[4]
            Tanah lungguh yang diserahkan raja kepada para sentana dan narawita itu dapat diwariskan kepada keturunannya atau anak sulungnya sampai dengan keturunan kedua (anak) jika anaknya mendapat persetujuan dari raja untuk mengganti kedudukan ayahnya.[5]
Sejak pendaftaran tanah dilakukan, para pemiliknya dikenakan pajak verponding.[6] Pajak itu diperlukan untuk membiayai kehidupan raja, bangsawan, dan abdi dalem yang melaksanakan pemerintahan kerajaan. Di daerah kuthagara secara politis dan ekonomis terdapat praktik-praktik eksploitasi tradisional yang dilakukan oleh para raja dan bangsawan kepada penduduk. Hal ini dapat dipahami sehubungan dengan adanya penciutan wilayah kuthagara yang mengakibatkan krisis ekonomi di istana. Keluarga keraton sangat memerlukan biaya hidup. Pajak verponding harus dibayarkan di muka oleh para penduduk dua kali dalam satu tahun yaitu pada 1 Juni dan 1 November. Apabila penduduk tidak dapat membayar pajak pada waktu yang telah ditentukan, mereka akan dikenai denda sebesar f.5,- setiap nilai pajak f.100,-. Besarnya pajak dan denda ditetapkan oleh patih dan residen Yogyakarta, serta komisi yang beranggotakan tiga orang. Dalam menetapkan pajak, komisi memperoleh keterangan dari para priyayi dan pejabat-pejabat kasultanan yang di sampaikan kepada residen Yogyakarta.
            Perusahaan atau penduduk yang tidak mampu membayar pajak diwajibkan untuk menyerahkan atau dicabut hak pakai tanahnya dan bahkan diperintahkan untuk meninggalkan (kathundung) dari tanah yang mereka tempati. Pada awal mulanya, penduduk yang memakai tanah kasultanan, tetapi tidak dapat membayar pajaknya, diperingatkan untuk membayar atau mengangsurnya. Apabila setelah mendapat peringatan mereka tetap tidak dapat membayar atau mengangsurnya, mereka akan diajukan ke pengadilan untuk memecahkan permasalahan itu.
            Meskipun tunggakan pembayaran pajak di kalangan masyarakat kepada kasultanan selalu ada pada setiap tahunnya, pajak yang diterima kasultanan dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan kerajaan. Pajak yang diterima kasultanan atas tanah-tanah kekuasaan yang dipakai dan disewa oleh penduduk, orang-orang nonpribumi, dan perusahaan di Kota Yogyakarta.















Kesimpulan
            Implikasi suatu perekonomian yang telah berubah akan berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahnya. Pemerintahan Belanda, Jepang dan Indonesia terhadap masyarakat di Yogyakarta memberikan beberapa permasalahan sosial dari sebuah pembangunan ekonomi Yogyakarta, terutama di kawasan pedesaan. Pada masa kerajaan Mataram, sebelum terpecahnya Surakarta dan Yogyakarta, VOC berhasil memaksa penguasaan Jawa untuk menyetujui hak monopolinya dalam pembuatan kapal di pantai utara Jawa dan hak pelayaran di Laut Jawa.[7]
            Sebelum abad XX, penguasaan dan pemilikan tanah di Kota Yogyakarta bersifat feodal. Penguasaan tanah banyak ditentukan dengan sistem lungguh. Dalam sistem lungguh, tanah dimiliki dan dikuasai oleh sultan (vorsten domein), sedangkan rakyat (kawula dalem) yang tinggal sebagai penghuni tanah itu hanya memiliki hak garapan (nggadhuh) dan diwajibkan menyerahkan sebagian hasil garapannya. Untuk mengawasi dan mengelola tanah kasultanan, sultan memberikan kepercayaannya kepada kerabat sultan (sentana dalem) dan para pegawai (priyayi) dengan status sebagai penggaduh tanah sultan. Mereka itu disebut patuh, sedangkan tanah yang dikuasakan kepada mereka disebut “tanah kepatuhan”. Dengan haknya ini, para patuh diberi wewenang untuk mengelola tanah yang pasrahkan kepadanya.
            Dalam mengawasi tanah-tanah yang dikuasainya para patuh menyerahkan hak-hak kekuasaannya kepada para pembantu mereka. Para pembantu patuh ini disebut lurah. Mereka memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah sultan sedangkan rakyat sebagai penggarapnya tidak mempunyai hak apa-apa atas tanah yang digarapnya. Penguasaan tanah dengan sistem lungguh kepada bangsawan dan pegawai kraton sebagai gaji itu menimbulkan adanya dua lapisan sosial dalam masyarakat yaitu wong gedhe dan wong cilik. Wong gedhe merupakan lapisan sosial yang memiliki hak-hak istimewa dari keraton, di antaranya hak memungut pajak dan hasil dari sebagian tanah lungguhnya. Adapun wong cilik merupakan lapisan sosial di bawahnya yang tidak memiliki hak-hak istimewa, mereka hanya memiliki hak atas tanah sebagai hak penggarap dan pemakai.
Kekuasaan sultan atas tanah-tanah di wilayah kekuasaannya memungkinkan sultan mengatur sistem pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, di antaranya tanah keraton, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum, dan tanah yang diberikan kepada penduduk. Pengaturan hak milik tanah Kasultanan Yogyakarta diwujudkan dalam undang-undang, adat kebiasaan, praktikpraktik yang mengatur hak dan kewajiban, serta hubungan orang dengan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Setiawati. 2011. Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat. Yogyakarta : STPN Press.
Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University             Press.
Kutoyo DKK, Sutrisno. 1997. Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius,1977), hlm. 698.
2 Notoyudo, “Hak Sri Sultan Atas Tanah di Yogyakarta” (tp, 1975), hlm. 9-10
3 Sawah/tanah maosan tidak ada penjelasan lebih lanjut dan data-data yang akurat belum ditemukan.
4 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (Yogya: P.T. Tiara Wacana, 1991), hlm. 28.
5 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 1 tahun 1926.
6 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 24, tahun 1925.
7 D.H. Burger, Structural Changes in Javanese Society: The Supra Village Sphere (Comell Modern Indonesia Project, Seri Terjemahan; Ithaca, N.Y., 1959), hal 7: “perdagangan beras Jawa ke seberang lautan hancur akibat kebijaksanaan Mataram. Ada laporan-laporan yang yang menyatakan bahwa dari tahun 1641 hingga 1656 penguasa Mataram telah melarang rakyatnya untuk melakukan perdagangan di laut. Sunanlah yang memonopoli perdagangan itu. Tak seorangpun di kalangan rakyatnya yang akan memperoleh keuntungan semenjak itu. Beras di monopoli oleh kerajaan. Hal. 9: kemudian, sesudah Mataram di tahun 1677 menjadi protektorat VOC, absolutisme kerajaan zaman Mataram pertama melemah. Namun, perdagangan laut lenyap untuk seterusnya. Ekspor padi di tahun 1705 menjadi suatu upeti wajib dari Mataram kepada VOC...Masyarakat Jawa kehilangan perdagangan lautnya di abad ketujuh belas dan sejak itu yang ada hanyalah bentuk-bentuk organisasi yang bersifat agraris-feodal di daerah pedalaman. Di desa-desa perekonomian hampir tanpa peredaran uang dan pertukaran tertutup dan swasembada.





[1] Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius,1977), hlm. 698.
[2] Notoyudo, “Hak Sri Sultan Atas Tanah di Yogyakarta” (tp, 1975), hlm. 9-10
[3] Sawah/tanah maosan tidak ada penjelasan lebih lanjut dan data-data yang akurat belum ditemukan.
[4] Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (Yogya: P.T. Tiara Wacana, 1991), hlm. 28.
[5] Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 1 tahun 1926.
[6] Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 24, tahun 1925.
[7] D.H. Burger, Structural Changes in Javanese Society: The Supra Village Sphere (Comell Modern Indonesia Project, Seri Terjemahan; Ithaca, N.Y., 1959), hal 7: “perdagangan beras Jawa ke seberang lautan hancur akibat kebijaksanaan Mataram. Ada laporan-laporan yang yang menyatakan bahwa dari tahun 1641 hingga 1656 penguasa Mataram telah melarang rakyatnya untuk melakukan perdagangan di laut. Sunanlah yang memonopoli perdagangan itu. Tak seorangpun di kalangan rakyatnya yang akan memperoleh keuntungan semenjak itu. Beras di monopoli oleh kerajaan. Hal. 9: kemudian, sesudah Mataram di tahun 1677 menjadi protektorat VOC, absolutisme kerajaan zaman Mataram pertama melemah. Namun, perdagangan laut lenyap untuk seterusnya. Ekspor padi di tahun 1705 menjadi suatu upeti wajib dari Mataram kepada VOC...Masyarakat Jawa kehilangan perdagangan lautnya di abad ketujuh belas dan sejak itu yang ada hanyalah bentuk-bentuk organisasi yang bersifat agraris-feodal di daerah pedalaman. Di desa-desa perekonomian hampir tanpa peredaran uang dan pertukaran tertutup dan swasembada.

You May Also Like

0 komentar