Bulan September tahun lalu (2017) saya mendapat kesempatan
untuk bergabung dalam tim Ekspedisi Nusantara Jaya yang diselenggarakan oleh
Kemenko Bidang Maritim. Bersama ke dua puluh tiga mahasiswa Universitas
Airlangga lainnya kami ditugaskan untuk hidup bersama masyarakat di tiga pulau.
Pulau Mandangin, Pulau Masalembu dan Pulau Masakambing.
Sebagai orang awam yang baru pertama kali mendengar nama
pulau tersebut pasti merasa asing. Demikianpun saya. Perjalanan menuju Pulau
Masalembu membutuhkan waktu sekitar 18 jam dengan kapal “Sabuk Nusantara”. Ya,
kapal adalah satu-satunya transportasi yang bisa digunakan, itupun hanya ada
sekali dalam seminggu. Artinya ketika kalian-kalian semua ingin pergi kesana,
minimal harus living selama satu minggu menunggu kedatangan kapal untuk kembali
ke Surabaya.
Sebelum memutuskan untuk akhirnya berangkat, ada banyak hal
yang harus saya pertimbangkan. Seperti, waktu keberangkatan yang bebarengan
dengan jadwal UTS. Otomotis jika saya berangkat dalam kegiatan tersebut saya
harus siap untuk UTS susulan dan harus mengurus birokrasi kampus yang cukup
membuat berat badan turun akibat naik turun tangga yang semakin sering.JJJ
selanjutnya sudah rahasia umum terkait letak keberadaan Pulau Masalembu dan
Pulau Masakambing, dimana kedua pulau tersebut terletak di segitiga versi
Indonesia. Banyak kapal yang karam disana, saya pun ketika perjalanan melihat
dengan mata sendiri bangkai kapal tersebut, kata orang nyawa sebagai taruhan
jika pergi kesana. Banyak juga pertanyaan semacam “Yakin mau kesana ?”, “Kamu
harus belajar berenang, buat persiapan kalau ada apa-apa.”, dan pertanyanyan
semacam lain.
Keinginan untuk mengabdi kepada negeri jauh lebih besar
sehingga perasaan ragu, bimbang lama kelamaan terkikis. Hingga pada akhirnya
saya bersama ke dua puluh tiga mahasiswa laiinnya berangkat. Check in di
Pelabuhan tanjung Perak Surabaya sekitar pukul 11 siang. Karena kapal yang saya
naiki berlayar sekitar pukul 4 sore, maka untuk mengisi waktu luas setelah
selesai check in bersama teman-teman lain memindahkan barang barang yang cukup
banyak ke kapal. Baju bekas, makanan pokok, buku dan barang-barang donasi
lainnya. Pengalaman berada di kapal selama delapan belas jam tentu menarik
untuk diabadikan. Lima jam pertama saya masih merasa baik-baik saja. Karena
ombak yang belum terlalu besar, memasukin jam-jam selanjutnya pusing dan mual
mulai menghampiri sampai puncaknya ketika akan sampai ke Pulau Masalembu, ombak
yang semakit besar membuat saya dan teman-teman memutuskan untuk tidur untuk
menahan keinginan untuk mengeluarkan isi perut. Hihihi
Sesampainya di dermaga, perasaan takjub akan keindahan pulau
yang masih murni dengan kealamiannya, puluhan warga sekitar yang menyambut
kedatangan kami dengan senyum ramahnya, serta deburan air laut seolah ikut
berbahagia. Eeiitts perjalanan belum usai, setelah saya sampai di Pelabuhan
Masalembu perjalanan masih berlanjut untuk menuju ke Pulau Masakambing. Butuh
waktu sekitar dua jam dengan perahu kecil untuk sampai kesana. Setelah selesai
mengangkut barang-barang kami dari kapal kemudian dipindahkan ke perahu kecil
perjalananpun segera dilanjutkan. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya saya
bersama teman-teman berdecak kagum akan keindahan pulau ini. Melihat karang
putih yang menampakkan di perkuaan laut dengan panjang yang luar biasa. Sesekali
saya mendongakkan kepala ke bibir perahu, menyelupkan tangan ke air laut yang
jernih itu.
Sesampainya di Pulau Masakambing sambutan anak-anak disana
cukup meriah, gelak tawanya membuat kami lupa akan rasa lelah mengarungi laut.
Pak Usman adalah bapak angkat kami selama kami tinggal disana. Beliaulah yang
membantu kami untuk mengurus segala hal. Beliau jugalah yang merelakan rumahnya
untuk kami tinggali selama kurang lebih 14 hari. Keesokan harinya kegiatan
pertama kami adalah pembukaan di Balai Desa Pulau Masakambing yang dihadiri
oleh Bapak Kepala desa serta para jajarannya. Jarak rumah Pak Usman ke balai
desa cukup membuat balsem geliga yang kami bawa habis untuk mengurut kaki. 5 KM, yang berarti untuk
pulang pergi saya harus berjalan 10 KM. Tidak hanya balai desa yang jaraknya
jauh tetapi juga sekolah dasar (SD). Jalan setapak dengan pohon kelapa, randu,
sampai siulan burung yang selalu menemani perjalan ini di setiap harinya.
Foklore seperti
apa yang dikatakan oleh Prof. James memiliki cakupan yang sangat luas. Foklore
tidak sama dengan tradisi lisan, baginya cakupan tradisi lisan sangat kecil,
hanya berupa cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Lebih
dari itu, foklore memiliki cakupan yang lebih luas yang didalamnya termasuk
tarian rakyat dan arsitektur rakyat.[1]
Salah satu foklore yang terkenal di kalangan anak-anak adalah cerita rakyat.
Cerita rakyat
sudah menjadi bagian dari khazanah budaya dan sejarah yang dimiliki oleh setiap
bangsa termasuk Indonesia. Cerita rakyat juga bisa diartikan sebagai bentuk
dari ekspresi budaya suatu masyarakat melalui tutur bahasa yang berhubungan
langsung dengan berbagai aspek budaya serta nilai sosial dari masyarakat
tersebut. Berbicara mengenai foklore
Bercermin pada Arek
Suroboyo : Menjawab Tantangan Multikultural untuk Mewujudkan Masyarakat Damai
sesuai SDGs
Diusulka oleh :
Dina Stevany Ernayasari 121511433007 2015
Laras Setyaningsih 121511433046 2015
Nia Nur Malasari 121511433073 2015
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses integrasi antar etnis, khususnya
antara pemuda (arek) Surabaya yang
memiliki latar belakang perbedaan etnis berbeda. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif yakni melalui studi literatur serta interview.
Penelitian ini menggunakan sample lokasi di Surabaya, khusunya arek Surabaya yang sedang menempuh
pendidikan di bangku universitas. Kesimpulan hasil penelitian ini antara lain
bahwa tingkat pluralitas yang tinggi di Surabaya tidak berakibat pada adanya
diskriminatif persoalan etnis, agama maupun pada tingkat kesejahteraan sosial.
Kondisi seperti ini disebabkan karena faktor sejarah dari kota Surabaya sendiri
serta kesediaan dalam menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Dukungan
dari Pemerintah Kota Surabaya dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pluralitas sebagai usaha pemerintah dalam mempertahankan multikulturalisme arek Surabaya.
I am a graduate with a Bachelor’s
degree in Humanities from History Science major at Universitas Airlangga.
Furthermore, I am committed, determined and persistent person who always eager
to learn more and overcoming challenges by going the extra miles that also
capable and enjoy to work both as a team player or independent accordingly to
the demand of the task or situation given.