“PertolonganNya datang disaat yang tepat”.

by - Maret 14, 2019



Melanjutan kisah perjalanan bagian satu, jadi kami sampai di Bandara Attaturk 22 Oktober 2018 sekitar pukul 1 dini hari waktu setempat. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari mushola karena kami belum sempat sholat maghrib di Oman, sehingga memutuskan untuk menjamak sholat maghrib dan isya’. Usai sholat saya, fitra dan mba luki beristirahat sebentar karena merasa jetleg, punggung linu pasca penerbangan panjang.
Setelah merasa cukup, kami segera beranjak menuju counter pembelian nomor sesuai dengan instruksi dari seorang kawan yang sedang menempuh pendidikan di Turki. FYI tidak semua tempat umum disini memiliki fasilitas wi-fi, jadi mau ngga mau harus beli nomor. Counter pembelian nomor ini tersebar banya di sekitar bandara. Tidak membutuhkan waktu lama kami segera menuju counter.  Harga yang tersedia juga bervarisai. Memang kalau dibandingkan dengan Indonesia pasti lebih mahal. Mulai harga 100 TL dan seterusnya. Akhirnya setelah menimbang dan untuk meminimalisir pengeluaran, kami membeli 1 nomor untuk bertiga. Saya lupa harga pastinya berapa, kalau tidak salah sekitar 220 TL untuk 6 gb paket data. Satu nomor untuk 3 orang. Biar bisa menghemat katanya. Dan yang penting bisa untuk sekedar mengirim pesan WA kepada sanak keluarga di tanah air.
Selesai dengan segala urusan kartu, segeralah kami menuju terminal metro. Oh iya yang dimaksud metro di Turki adalah semacam LRT. Beberapa langkah dari pintu keluar bandara, gila ini suhu. Buat saya dan kawan yang terbiasa dengan suhu Surabaya, seketika langsung menggerutu. “ah sial, dingin sekali tempat ini. Sepertinya kita salah bawa baju juga.” Maklum waktu itu kami hanya membawa baju ala kadarnya. Tidak ada wintercoat. Karena kami pergi ke Turki pada bulan Oktober – November yang musim disana adalah musim gugur. Karena kesoktahuan yang tidak berfaedah ini, musim gugur ya tidak dingin-dingin baget. Alhasil ini akibatnya.
Untuk menuju ke terminal metro, kita harus turun ke bawah tanah. Lumayan suhu di bawah masih bisa diajak kompromi.  Sambil berjalan ke arah stasiun metro kami mampir ke swalayan. Eh nemu Indomie dong. Mendunia banget mie satu ini. Oke lanjut, sesampainya di metro kami harus menunggu beberapa jam karena memang jam operasinya mulai jam 06.00 pagi. Sama layaknya menaiki rlt di Jakarta yang baru beroperasi bulan ini, bagi semua penumpang harus membuat kartu terlebih dahulu. Biayanya sebesar 10TL atau sekitar 30.000 jika dirupiahkan. Untuk pembuatannya memang cepat, tetapi membutuhkan pemahaman yangn jeli karena instruksi dalam bahasa inggrisnya terletak di atas mesin dan ukuran yang kecil.
Istanbul Kart sudah ditangan, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan ke Terminal Ottogar. Ottogar merupakan salah satu terminal terbesar di Istanbul untuk melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah yang tidak bisa diakses menggunakan kereta. Untungnya kesan acuh masyarakat Turki tidak saya temukan disini. Entah ini hanya prasangka saya saja atau bagaimana. Yang jelas hal tersebut yang saya alami. Hal ini terlihat ketika saya bertanya kepada orang-orang sana tempat untuk membeli tiket bus, mereka langsung manghantarkan saya ke beberapa loket beserta membawakan koper. Awalnya sih was-was kirain dianya mau nipu atau mau minta bayaran. Haha. Kami sempat keluar masuk agen bis karna tiket dengan tujuan yang kami cari dengan jadwal keberangkatan paling pagi sudah habis. Dengan keterbatasan bahasa, akhirnya kami mendapatkan tiga tiket bis menuju Safranbolu. Lega sih, apalagi petugas agennya lebih kece daripada oppa oppa korea yang sering dilihat di layar kaca. Menyejukkan.

Kami mendapat tiket dengan jadwal keberangkatan paling pagi yakni pukul 08.00. Jangan dikira pukul 08.00 waktu Turki ini kita sudah bisa menikmati kehangatan cahaya matahari, masih gelap layaknya pukul 04.00 pagi waktu Indonesia. Selagi menungu, Fitra yang katanya ketika dijalan menemukan penjual nasi mengajak untuk membelinya. Terbelilah nasi yang dari penampilannya mirip dengan nasi goreng ini. Setelah dimakan, eh engga cocok dengan lidah kami bertiga karena rasanya lebih tepat dinamakan “nasi goreng kemarin lusa”. Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, didukung dengan suara perut yang tidak mau diajak kompromi tetap dimakanlah akhirnya.
Pukul 08.00 tepat bis menuju Safranbolu berangkat. Dengan tiket seharga 75 TL per orang kami sudah bisa menikmati fasilitas seperti wifi, softdrink dan makanan ringan khas Turki. Perjalanan Istanbul – Safranbolu memerlukan waktu tempuh sekitar 7 jam. Lama kan. Iya bener sampai kami berada dititik bosan. Untungnya sih ketolong dengan keberadaan wifi yang bisa mengalihkan semua. Sesampainya di terminal besar Safranbolu kami segera menghubungi pihak Airbnb, tempat dimana saya, fitra dan mba luki memesan penginapan.  Apa yang terjadi ? untuk menuju penginapan yang terletak di Bartin (ternyata) kami diharuskan menaiki bus lagi sekitar 2 jam.  Kaget, iya. Mau gimana lagi, semua sudah terjadi.
Setelah berhasil menghubungi pemilik housetel, beliau memberikan arahan kepada kami bertiga yang tidak tahu apa-apa ini untuk menuju terminal kecil guna membeli tiket bus ke Bartin. Tiga tiket ke Bartin sudah di tangan. Siap meluncur satu jam lagi. Entah apa yang saya fikirkan, tiba-tiba saya mengirim pesan kepada salah satu ketua PPI dan menanyakan money charger terdekat dengan daerah saya sekarang. Karena memang kami bertiga hanya menukarkan sebagian uang saja dan ternyata persediaan uang Lira sudah menipis. Tanpa menunggu apa-apa saya langsung mengirimkan pesan kepada kontak yang sudah diberikan.
Setelah berhasil menghubungi pemilik housetel, beliau memberikan arahan kepada kami bertiga yang tidak tahu apa-apa ini untuk menuju terminal kecil guna membeli tiket bus ke Bartin. Tiga tiket ke Bartin sudah di tangan. Siap meluncur satu jam lagi. Entah apa yang saya fikirkan, tiba-tiba saya mengirim pesan kepada salah satu ketua PPI dan menanyakan money charger terdekat dengan daerah saya sekarang. Karena memang kami bertiga hanya menukarkan sebagian uang saja dan ternyata persediaan uang Lira sudah menipis. Tanpa menunggu apa-apa saya langsung mengirimkan pesan kepada kontak yang sudah diberikan.
Pertolongan Allah datang disaat yang tepat”.
Si teteh (setelah berbincang selama di Safranbolu saya sepakat untuk memanggilnya teteh) ternyata tinggal di dekat kampus dimana kegiatan kami diadakan. Teteh langsung menelfon saya dan berceritalah saya tentang apa yang terjadi dengan kami bertiga. Oh iya, orang yang saya panggil teteh ini adalah orang asli Sunda yang kemudian memutuskan menikah dengan orang Turki 8 tahun lalu.
Setelah tau kami bertiga akan menginap di Bartin, tetah langsung menyuruh kami untuk membatalkan saja dengan berbagai pertimbangan yang dirasa tidak efesien.  Si teteh yang kebetulan juga memiliki housetel menganjurkan kami untuk menginap disana. Berdiskusilah saya, fitra dan mba luki untuk mengambil langkah terbaik, akhirnya kami terima tawaran dari teteh. Untuk pergi ke tempat teteh sebenarnya  bisa ditembuh dengan berjalan kaki, hanya sekitar 20 menit. Tapi karena kondisi kami yang sudah capek belumlagi harus membawa koper kami memutuskan untuk naik taksi saja.
Benar saja sesampainya di tempat, kami disambut hangat oleh keluarga kecil ini. Usai “diinterogasi” panjang, dan ternyata teteh kenal dengan dekan yang mana juga menjadi ketua pelaksana kegiatan yang kami ikuti, diajaklah kami untuk bertemu pada esok hari. Kemuadian kami langsung diarahkan untuk ke ruang dimana kami akan beristirahat. Iya, kami bertiga menyewa satu lantai di rumah teteh yang mirip dengan apartement itu. Akhirnya kami bisa mandi pasca perjalanan 2 hari. Hehehe




Hingga akhirnya kami dipertemukan langsung dengan Dekan salah satu fakultas di Karabuk University.
To be continue ààà

You May Also Like

0 komentar