“PertolonganNya datang disaat yang tepat”.
Melanjutan kisah perjalanan bagian satu, jadi kami sampai di
Bandara Attaturk 22 Oktober 2018 sekitar pukul 1 dini hari waktu setempat. Hal
pertama yang kami lakukan adalah mencari mushola karena kami belum sempat
sholat maghrib di Oman, sehingga memutuskan untuk menjamak sholat maghrib dan
isya’. Usai sholat saya, fitra dan mba luki beristirahat sebentar karena merasa
jetleg, punggung linu pasca penerbangan panjang.
Setelah merasa cukup, kami segera beranjak menuju counter
pembelian nomor sesuai dengan instruksi dari seorang kawan yang sedang menempuh
pendidikan di Turki. FYI tidak semua tempat umum disini memiliki fasilitas
wi-fi, jadi mau ngga mau harus beli nomor. Counter pembelian nomor ini tersebar
banya di sekitar bandara. Tidak membutuhkan waktu lama kami segera menuju
counter. Harga yang tersedia juga
bervarisai. Memang kalau dibandingkan dengan Indonesia pasti lebih mahal. Mulai
harga 100 TL dan seterusnya. Akhirnya setelah menimbang dan untuk meminimalisir
pengeluaran, kami membeli 1 nomor untuk bertiga. Saya lupa harga pastinya
berapa, kalau tidak salah sekitar 220 TL untuk 6 gb paket data. Satu nomor
untuk 3 orang. Biar bisa menghemat katanya. Dan yang penting bisa untuk sekedar
mengirim pesan WA kepada sanak keluarga di tanah air.
Selesai dengan segala urusan kartu, segeralah kami menuju
terminal metro. Oh iya yang dimaksud metro di Turki adalah semacam LRT. Beberapa
langkah dari pintu keluar bandara, gila ini suhu. Buat saya dan kawan yang
terbiasa dengan suhu Surabaya, seketika langsung menggerutu. “ah sial, dingin
sekali tempat ini. Sepertinya kita salah bawa baju juga.” Maklum waktu itu kami
hanya membawa baju ala kadarnya. Tidak ada wintercoat. Karena kami pergi ke
Turki pada bulan Oktober – November yang musim disana adalah musim gugur. Karena
kesoktahuan yang tidak berfaedah ini, musim gugur ya tidak dingin-dingin baget.
Alhasil ini akibatnya.
Untuk menuju ke terminal metro, kita harus turun ke bawah
tanah. Lumayan suhu di bawah masih bisa diajak kompromi. Sambil berjalan ke arah stasiun metro kami
mampir ke swalayan. Eh nemu Indomie dong. Mendunia banget mie satu ini. Oke
lanjut, sesampainya di metro kami harus menunggu beberapa jam karena memang jam
operasinya mulai jam 06.00 pagi. Sama layaknya menaiki rlt di Jakarta yang baru
beroperasi bulan ini, bagi semua penumpang harus membuat kartu terlebih dahulu.
Biayanya sebesar 10TL atau sekitar 30.000 jika dirupiahkan. Untuk pembuatannya
memang cepat, tetapi membutuhkan pemahaman yangn jeli karena instruksi dalam
bahasa inggrisnya terletak di atas mesin dan ukuran yang kecil.
Istanbul Kart sudah ditangan, akhirnya kami bisa melanjutkan
perjalanan ke Terminal Ottogar. Ottogar merupakan salah satu terminal terbesar
di Istanbul untuk melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah yang tidak bisa
diakses menggunakan kereta. Untungnya kesan acuh masyarakat Turki tidak saya
temukan disini. Entah ini hanya prasangka saya saja atau bagaimana. Yang jelas
hal tersebut yang saya alami. Hal ini terlihat ketika saya bertanya kepada
orang-orang sana tempat untuk membeli tiket bus, mereka langsung manghantarkan
saya ke beberapa loket beserta membawakan koper. Awalnya sih was-was kirain
dianya mau nipu atau mau minta bayaran. Haha. Kami sempat keluar masuk agen bis
karna tiket dengan tujuan yang kami cari dengan jadwal keberangkatan paling
pagi sudah habis. Dengan keterbatasan bahasa, akhirnya kami mendapatkan tiga
tiket bis menuju Safranbolu. Lega sih, apalagi petugas agennya lebih kece
daripada oppa oppa korea yang sering dilihat di layar kaca. Menyejukkan.
Kami mendapat tiket dengan jadwal keberangkatan paling pagi
yakni pukul 08.00. Jangan dikira pukul 08.00 waktu Turki ini kita sudah bisa
menikmati kehangatan cahaya matahari, masih gelap layaknya pukul 04.00 pagi
waktu Indonesia. Selagi menungu, Fitra yang katanya ketika dijalan menemukan
penjual nasi mengajak untuk membelinya. Terbelilah nasi yang dari penampilannya
mirip dengan nasi goreng ini. Setelah dimakan, eh engga cocok dengan lidah kami
bertiga karena rasanya lebih tepat dinamakan “nasi goreng kemarin lusa”. Apalah
daya, nasi sudah menjadi bubur, didukung dengan suara perut yang tidak mau diajak
kompromi tetap dimakanlah akhirnya.
Pukul 08.00 tepat bis menuju Safranbolu berangkat. Dengan
tiket seharga 75 TL per orang kami sudah bisa menikmati fasilitas seperti wifi,
softdrink dan makanan ringan khas Turki. Perjalanan Istanbul – Safranbolu
memerlukan waktu tempuh sekitar 7 jam. Lama kan. Iya bener sampai kami berada
dititik bosan. Untungnya sih ketolong dengan keberadaan wifi yang bisa
mengalihkan semua. Sesampainya di terminal besar Safranbolu kami segera
menghubungi pihak Airbnb, tempat dimana saya, fitra dan mba luki memesan
penginapan. Apa yang terjadi ? untuk
menuju penginapan yang terletak di Bartin (ternyata) kami diharuskan menaiki
bus lagi sekitar 2 jam. Kaget, iya. Mau gimana
lagi, semua sudah terjadi.
Setelah berhasil menghubungi pemilik housetel, beliau
memberikan arahan kepada kami bertiga yang tidak tahu apa-apa ini untuk menuju
terminal kecil guna membeli tiket bus ke Bartin. Tiga tiket ke Bartin sudah di
tangan. Siap meluncur satu jam lagi. Entah apa yang saya fikirkan, tiba-tiba
saya mengirim pesan kepada salah satu ketua PPI dan menanyakan money charger
terdekat dengan daerah saya sekarang. Karena memang kami bertiga hanya
menukarkan sebagian uang saja dan ternyata persediaan uang Lira sudah menipis. Tanpa
menunggu apa-apa saya langsung mengirimkan pesan kepada kontak yang sudah
diberikan.
Setelah berhasil menghubungi pemilik housetel, beliau
memberikan arahan kepada kami bertiga yang tidak tahu apa-apa ini untuk menuju
terminal kecil guna membeli tiket bus ke Bartin. Tiga tiket ke Bartin sudah di
tangan. Siap meluncur satu jam lagi. Entah apa yang saya fikirkan, tiba-tiba
saya mengirim pesan kepada salah satu ketua PPI dan menanyakan money charger
terdekat dengan daerah saya sekarang. Karena memang kami bertiga hanya
menukarkan sebagian uang saja dan ternyata persediaan uang Lira sudah menipis. Tanpa
menunggu apa-apa saya langsung mengirimkan pesan kepada kontak yang sudah
diberikan.
“Pertolongan Allah
datang disaat yang tepat”.
Si teteh (setelah berbincang selama di Safranbolu saya
sepakat untuk memanggilnya teteh) ternyata tinggal di dekat kampus dimana
kegiatan kami diadakan. Teteh langsung menelfon saya dan berceritalah saya
tentang apa yang terjadi dengan kami bertiga. Oh iya, orang yang saya panggil
teteh ini adalah orang asli Sunda yang kemudian memutuskan menikah dengan orang
Turki 8 tahun lalu.
Setelah tau kami bertiga akan menginap di Bartin, tetah langsung
menyuruh kami untuk membatalkan saja dengan berbagai pertimbangan yang dirasa
tidak efesien. Si teteh yang kebetulan
juga memiliki housetel menganjurkan kami untuk menginap disana. Berdiskusilah saya,
fitra dan mba luki untuk mengambil langkah terbaik, akhirnya kami terima
tawaran dari teteh. Untuk pergi ke tempat teteh sebenarnya bisa ditembuh dengan berjalan kaki, hanya
sekitar 20 menit. Tapi karena kondisi kami yang sudah capek belumlagi harus
membawa koper kami memutuskan untuk naik taksi saja.
Benar saja sesampainya di tempat, kami disambut hangat oleh
keluarga kecil ini. Usai “diinterogasi” panjang, dan ternyata teteh kenal
dengan dekan yang mana juga menjadi ketua pelaksana kegiatan yang kami ikuti,
diajaklah kami untuk bertemu pada esok hari. Kemuadian kami langsung diarahkan
untuk ke ruang dimana kami akan beristirahat. Iya, kami bertiga menyewa satu
lantai di rumah teteh yang mirip dengan apartement itu. Akhirnya kami bisa
mandi pasca perjalanan 2 hari. Hehehe
0 komentar