Berbagi semangat kebermanfaatan bersama anak-anak Pulau Masalembu – Masakambing #PART 1

by - Februari 12, 2018



Bulan September tahun lalu (2017) saya mendapat kesempatan untuk bergabung dalam tim Ekspedisi Nusantara Jaya yang diselenggarakan oleh Kemenko Bidang Maritim. Bersama ke dua puluh tiga mahasiswa Universitas Airlangga lainnya kami ditugaskan untuk hidup bersama masyarakat di tiga pulau. Pulau Mandangin, Pulau Masalembu dan Pulau Masakambing.

Sebagai orang awam yang baru pertama kali mendengar nama pulau tersebut pasti merasa asing. Demikianpun saya. Perjalanan menuju Pulau Masalembu membutuhkan waktu sekitar 18 jam dengan kapal “Sabuk Nusantara”. Ya, kapal adalah satu-satunya transportasi yang bisa digunakan, itupun hanya ada sekali dalam seminggu. Artinya ketika kalian-kalian semua ingin pergi kesana, minimal harus living selama satu minggu menunggu kedatangan kapal untuk kembali ke Surabaya.

Sebelum memutuskan untuk akhirnya berangkat, ada banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Seperti, waktu keberangkatan yang bebarengan dengan jadwal UTS. Otomotis jika saya berangkat dalam kegiatan tersebut saya harus siap untuk UTS susulan dan harus mengurus birokrasi kampus yang cukup membuat berat badan turun akibat naik turun tangga yang semakin sering.  JJJ selanjutnya sudah rahasia umum terkait letak keberadaan Pulau Masalembu dan Pulau Masakambing, dimana kedua pulau tersebut terletak di segitiga versi Indonesia. Banyak kapal yang karam disana, saya pun ketika perjalanan melihat dengan mata sendiri bangkai kapal tersebut, kata orang nyawa sebagai taruhan jika pergi kesana. Banyak juga pertanyaan semacam “Yakin mau kesana ?”, “Kamu harus belajar berenang, buat persiapan kalau ada apa-apa.”, dan pertanyanyan semacam lain.

Keinginan untuk mengabdi kepada negeri jauh lebih besar sehingga perasaan ragu, bimbang lama kelamaan terkikis. Hingga pada akhirnya saya bersama ke dua puluh tiga mahasiswa laiinnya berangkat. Check in di Pelabuhan tanjung Perak Surabaya sekitar pukul 11 siang. Karena kapal yang saya naiki berlayar sekitar pukul 4 sore, maka untuk mengisi waktu luas setelah selesai check in bersama teman-teman lain memindahkan barang barang yang cukup banyak ke kapal. Baju bekas, makanan pokok, buku dan barang-barang donasi lainnya. Pengalaman berada di kapal selama delapan belas jam tentu menarik untuk diabadikan. Lima jam pertama saya masih merasa baik-baik saja. Karena ombak yang belum terlalu besar, memasukin jam-jam selanjutnya pusing dan mual mulai menghampiri sampai puncaknya ketika akan sampai ke Pulau Masalembu, ombak yang semakit besar membuat saya dan teman-teman memutuskan untuk tidur untuk menahan keinginan untuk mengeluarkan isi perut. Hihihi

Sesampainya di dermaga, perasaan takjub akan keindahan pulau yang masih murni dengan kealamiannya, puluhan warga sekitar yang menyambut kedatangan kami dengan senyum ramahnya, serta deburan air laut seolah ikut berbahagia. Eeiitts perjalanan belum usai, setelah saya sampai di Pelabuhan Masalembu perjalanan masih berlanjut untuk menuju ke Pulau Masakambing. Butuh waktu sekitar dua jam dengan perahu kecil untuk sampai kesana. Setelah selesai mengangkut barang-barang kami dari kapal kemudian dipindahkan ke perahu kecil perjalananpun segera dilanjutkan. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya saya bersama teman-teman berdecak kagum akan keindahan pulau ini. Melihat karang putih yang menampakkan di perkuaan laut dengan panjang yang luar biasa. Sesekali saya mendongakkan kepala ke bibir perahu, menyelupkan tangan ke air laut yang jernih itu.

Sesampainya di Pulau Masakambing sambutan anak-anak disana cukup meriah, gelak tawanya membuat kami lupa akan rasa lelah mengarungi laut. Pak Usman adalah bapak angkat kami selama kami tinggal disana. Beliaulah yang membantu kami untuk mengurus segala hal. Beliau jugalah yang merelakan rumahnya untuk kami tinggali selama kurang lebih 14 hari. Keesokan harinya kegiatan pertama kami adalah pembukaan di Balai Desa Pulau Masakambing yang dihadiri oleh Bapak Kepala desa serta para jajarannya. Jarak rumah Pak Usman ke balai desa cukup membuat balsem geliga yang kami bawa habis untuk mengurut kaki. 5 KM, yang berarti untuk pulang pergi saya harus berjalan 10 KM. Tidak hanya balai desa yang jaraknya jauh tetapi juga sekolah dasar (SD). Jalan setapak dengan pohon kelapa, randu, sampai siulan burung yang selalu menemani perjalan ini di setiap harinya.
Bagian pertama dari sebuah perjalanan J

You May Also Like

0 komentar