Bercermin pada Arek Suroboyo : Menjawab Tantangan Multikultural untuk Mewujudkan Masyarakat Damai sesuai SDGs

by - Februari 08, 2018

Bercermin pada Arek Suroboyo : Menjawab Tantangan Multikultural untuk Mewujudkan Masyarakat Damai sesuai SDGs

                                              





Diusulka oleh :

Dina Stevany Ernayasari                 121511433007                        2015
Laras Setyaningsih                            121511433046                        2015
Nia Nur Malasari                              121511433073                        2015


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses integrasi antar etnis, khususnya antara pemuda (arek) Surabaya yang memiliki latar belakang perbedaan etnis berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yakni melalui studi literatur serta interview. Penelitian ini menggunakan sample lokasi di Surabaya, khusunya arek Surabaya yang sedang menempuh pendidikan di bangku universitas. Kesimpulan hasil penelitian ini antara lain bahwa tingkat pluralitas yang tinggi di Surabaya tidak berakibat pada adanya diskriminatif persoalan etnis, agama maupun pada tingkat kesejahteraan sosial. Kondisi seperti ini disebabkan karena faktor sejarah dari kota Surabaya sendiri serta kesediaan dalam menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Dukungan dari Pemerintah Kota Surabaya dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pluralitas sebagai usaha pemerintah dalam mempertahankan multikulturalisme arek Surabaya.
Kata kunci : Arek, Surabaya, Multikultural, Etnis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada tahun 2014 Antara News merilis kabar mengenai konflik antar etnis di Indonesia yang berjumlah 100 kasus berdasarkan data dari Kepolisian Republik Indonesia. Namun disisi lain kita tahu bahwa jumlah etnis yang ada di Indonesia tidak lebih dari 300 suku. Hal ini membawa fakta penting bahwa hampir setengah dari suku-suku di Indonesia pernah mengalami konflik antar etnis. Keberadaan etnosentrisme yang tinggi,kurangnya tenggang rasa antar sesama penduduk dalam satu wilayah, perselisihan akibat ekonomi menjadi beberapa hal yang memicu timbulnya konflik antar suku di wilayah-wilayah di Indonesia. Konflik besar seperti konfliksampit antara suku dayak dan suku madura pada tahun 2001, konflik antar suku di papua yang terjadi pada tahun 2005 dan berbagai konflik antar suku lainnya rata-rata tidak dilakukan oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah saja. Namun tingkat pendidikan yang cukup tinggi juga masih berpeluang menjadi pelaku konflik. Hal ini menunjukan fakta bahwa pendidikan karakter dan toleransi perlu diadakan.
Berangkat dari permasalahan diatas pada tahun 2015 masyarakat global mengumukan proyek besar dunia mengenai Sustainable Development Goals atau SDGs. Mayoritas dari penduduk dunia menanggapi positif proyek tersebut namun tidak jarang yang menangapi sebaliknya dengan argumen bahwa proyek tersebut terlalu besar dan ambisius. Namun keluar dari persepsi tersebut penulis tertarik untuk membahas mengenai poin SDGs yang berbunyi mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, memberikan akses keadilan bagi semua dan membangun institusi akuntabel dan inklusif yang efektif. Permasalahan keberagaman di Indonesia memiliki penyelesaian masalah dalam poin SDGs tersebut.
Konsep mengenai masyarakat damai sebelumnya belum pernah ada namun dapat didefinisikan dalam kata-perkata. Menurut kamus besar bahasa Indonesia makna perdamaian dipahami sebagai keadaan tanpa perang, kekerasan dan konflik . Galtung mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam dua pengertian, yaitu perdamaian negatif dan positif [1]. Sedangkan konsep mengenai Multikultural dikemukakan oleh Parsudi Suparlan bahwa akar kata dari Multikultural adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat fungsinya sebagai pedoman hidup dari manusia. Multikultural sedikit berbeda dengan keberagaman karena dalam multikultural lebih ditekankan bahwa keanekaragaman kebudayaan memiliki kesederajatan. Dalam penelitian ini kami menggunakan wilayah spasial Surabaya dengan objek penelitian adalah pemuda Surabaya atau yang akrab dikenal dengan arek Suroboyo. Dalam banyak tulisan salah satunya yang diterbitkan oleh majalah Tempo pada november 2015, Surabaya menjadi kota denganangka toleransi tertinggi. Angka tersebut merupakan hasil kalkulasi antara jumlah konflik dengan banyaknya etnis yang hidup dan mendiami Surabaya.
Pemuda dalam penulisan ini kami menggunakan pengertian dari UU nomor 40 tahun 2009 yakni dengan rentang usia 16- 30 tahun. Dan kami klasifikasikan dengan mahasiswa, mengingat Surabaya merupakan salah satu kota dengan penduduk pendatang untuk belajar di perguruan tinggi. Sehingga mahasiswa dari luar daerah merupakan sasaran yang tepat dalam penelitian ini. Maka dengan argumen yang disebutkan di atas, Surabaya dianggap mampu menjawab permasalahan mengenai multikultural. Dan penduduk Indonesia dapat menjadikan Surabaya sebagai cermin dari budaya toleransi.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang melatarbelakangi kota Surabaya dijadikan sebagai wilayah spasial penelitian ini?
2.      Bagaimana peran pemuda di kota Surabaya sebagai masyarakat multikultural ?
3.      Apa sajakah potensi lokal yang dapat dijadikan representasi bagi masyarakat luas dalam mewujudkan masyarakat yang damai?
1.3  Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan multikultural antar entis di Surabaya yang dilihat dari sudut pandang sosial. Sehingga diharapkan setelah penelitian ini selesai dapat memberikan gambaran mengenai realita saat ini. Selain itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah serta historiografi terhadap ilmu pengetahuan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Peneliti membandingkan dengan hasil penelitian orang lain yang peneliti peroleh dari beberapa penelitian terdahulu tentang kerukunan antar agama. Adapun penelitian terdahulu yang dianggap cukup relevan dengan penelitian ini diantaranya:
1.         Skripsi yang ditulis oleh Achmad Sami’an Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2000, berjudul “Kerukunan Hidup Antar Beragama Islam dan Kristen di PT Siwi, Desa Tanjungan kecamatan Priyorejo, kabupaten Gresik” yang dibahas dalam skripsi ini mengenai konsep kerukunan yang terjadi di PT Siwi cukup baik dan faktor pendorong terjadinya kerukunan antar karyawan yang beragama Islam dan Kristen ialah kesadaran yang bebas dari segala bentuk tekanan atau pengaruh, kondisi sosial, keagamaan, terjalin ketentraman dan kedamaian.
Sedangkan topik yang peneliti angkat tentang kerukunan antar etnis di wilayah Surabaya yang tedapat berbagai etnis sekaligus yang memiliki pengaruh dalam interaksi sosial kehidupan mereka. Alasan peneliti memilik skripsi tersebut yaitu sebagai tambahan referensi pengetahuan adalah wilayah kabupaten Gresik memiliki topologi wilayah serta kedekatan dengan Surabaya.
2.         Skripsi yang lain ditulis oleh Achmad Fauzi Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2006, berjudul “Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Gresik” dalam skripsi ini Ia menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kerukunan antar umat beragama di Gresik dialok, musyawarah bersama, gotong royong dalam bidang kemanusiaan serta kegiatan lainnya yang semuanya telah diwadahi dan direalisasikan oleh BKSAG (Badan Kerukunan Umat Beragama Se-Kabupaten Gresik dan Pemerintah Kabuaten Gresik. Faktor yang mendukung kerukunan hidup antar umat beragama ialah toleransi dari semua pihak yang bersangkutan. Serta konsep kerukunan hidup antar umat beragama Islam, Kristen, Kong Hu Cu ada sebuah benang merah yang dapat ditarik dan dijadikan landasan hidup rukun antar umat Beragama yaitu sama-sama mengajarkan cinta, kasih saying, dan penuh kedamaian sesama umat manusia. Dengan menggunakan landasan teori filsafat pancasila dan jenis penelian deskriptif kualitatif.  Alasan peneliti memilih skripsi tersebut sebagai tambahan kajian atau referensi pengetahuan dalam penelitian tentang “Kerukunan Antar Agama di Kampung Kristen (di Dusun Kwangenrejo Desa Leran Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro)” skripsi tersebut peneliti anggap sesuai serta medukung tema yang akan peneliti angkat sebagai judul skripsi. Karena skripsi yang ditulis oleh Achmad Fauzi membahas tentang Kerukunan Antar Umat Beragama di Gresik jenis penelitian Deskriptif kualitatif.
Berbagai tulisan mengenai toleransi yang memiliki kedekatan dengan Surabaya tersebut tidak benar-benar memiliki kesamaan dengan kajian ini, mengingat dalam batas wilayah pun.



BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian emik dimana peneliti menempatkan objek penelitian sebagai subjek dan hidup bersama dengan masyarakat sekitar dalam kurun waktu yang lama. Pendekatan dilakukan dengan memadukan kualitatif deskriptif. Penelitian  deskriptif dilakukan untuk meneliti sebuah realitas masyarakat tertentu, dimana informasi tentang hal tersebut sudah ada walaupun tidak terperinci dan lengkap. Secara umum, penelitian ini memiliki kerangka pemikiran yang tersusun mulai dari realitas di lapangan yang diangkat menjadi hipotesis sementara. Hipotesis yang dihasilkan adalah bahwa Surabaya merupakan salah wilayah yang memiliki tingkat toleransi akan keberagaman yang tinggi. Sehingga konsep utama penelitian ini adalah untuk mengetahui kebenaran hipotesis tersebut, merumuskan metode apakah yang dapat digunakan oleh wilayah lain dengan berkaca pada Surabaya.
Teknik pengumpulan data yang dipilih merupakan kolaborasi antara observasi lapangan, wawancara mendalam, dan juga studi dokumentasi.  Cara-cara tersebut dilakukan secara bertahap, pertama peneliti terjun ke lapangan untuk melakukan observasi, lalu mengimbanginya dengan wawancara di lapangan, dan bagian terakhir adalah studi dokumentasi yang dimiliki oleh institusi setempat. Penelitian ini dilaksanakan dengan bantuan subjek-subjek yang menjadi narasumber wawancara, subjek tersebut disebut sebagai bahan utama penelitian. Selain narasumber, data-data yang didapatkan di lapangan juga menjadi bahan utama. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti berperan penting sebagai salah satu alat utama penelitian dan ditunjang dengan alat-alat teknis yang membantu selama penelitian seperti alat rekam, kamera untuk dokumentasi, alat tulis, dan lain-lain
Berkaca pula pada metodelogi sejarah, Kuntowijoyo menjelaskan beberapa jenis pendekatan penelitan sejarah. Posisi kajian ini dalam klasifikasi penelitan sejarah yang dibuat Kuntowijoyo, masuk dalam sejarah kota. Permasalahan yang menjadi bidang kajian sejarah kota sesungguhnya luas sekali, seluas sejarah sosial sendiri, sehingga kadang orang menjadi heran apa saja yang tidak termasuk sejarah kota. Keluasan itu mendorong penulisan sejarah kota dapat dimasukkan ke dalam sejarah lokal; dan dari segi lain dapat dimsukkan ke dalam sejarah lainnya, seperti sejarah ekonomi, politik, demografi, dan sebagainya. Bidang garapan sejarah kota juga dapat mencakup perkembangan ekologi kota. Ekologi ialah interaksi antara manuisa dan alam sekitarnya, dan perubahan ekologi terjadi jika suatu komponen mengalami perubahan.[2]
Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah yang pertama kali dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penggunaan data atau sumber tersebut. Secara pasti sebelum data atau dokumen tersebut digunakan, terlebih dulu harus dilakukan verifikasi sumber baik ekstern maupun intern.
Sumber-sumber primer terkait pokok bahasan penulis tentang hubungan antar etnis di Surabaya tidaklah cukup banyak, namun demikian hal tersebut harus disertai jelinya penulis dalam memilah sumber-sumber mana saja yang layak digunakan. Proporsi penggunaan sumber primer dalam jumlah besar memungkinkan studi ini memperoleh tingkat objektifitas yang dapat dipertanggung jawabkan. Sumber-sumber primer yang menjadi landasan adalah beberapa koran surabaya misalnya, Surabaya Post, Pawarta Surabaya, Java Post dan juga beberapa arsip tentang kota Surabaya. Arsip tentang Surabaya dapat penulis dapatkan dengan jumlah yang besar di Arsip Kota Surabaya, namun hal tersebut tidak demikian mudahnya. Wilayah Surabaya yang tumbuh dari utara ke selatan menyebabkan mayoritas sumber yang tersedia adalah sumber-sumber wilayah yang lebih tua. Sedangkan wilayah barat hanya sedikit dan baru berkembang setelah Surabaya mengalami satu babak sejarah, yaitu revolusi 1955.
Beberapa kajian tentang hubungan antar etnis dalam masyarakat menjadi tolak ukur penulis dalam menganalisa sumber-sumber yang digunakan. Beberapa kajian sebelumnya dengan status sumber sekunder yang jumlahnya melimpah ruah memberikan banyak informasi bagi penulis namun juga menjadikan tuntutan studi ini berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya yang melimpah ruah tadi. Susah-susah gampang mungkin adalah satu kalimat yang dapat menjelaskan secara gamblang tentang metode penggunaan sumber tertulis dalam studi ini.
Kembali pada rohnya, penulisan sejarah tidak hanya harus dilandaskan pada sumber-sumber tertulis saja namun, juga sumber-sumber lisan. Penggunaan sumber lisan memberikan suatu sumbangsih besar bagi penulis untuk membentuk perasaannya dalam proses intrepetasi dan penulisan sejarah. Sebanyak-banyaknya jenis sumber yang dimanfaatkan maka semakin kuat perbandingan yang terbentuk. Perbandingan ini berfungsi mengalisa sedalam-dalamnya peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi, karena bagi beberapa sejarawan, sejarah ditulis bukan untuk masanya tapi untuk masa kini. E.Carr misalnya, mengutarakan bahwa history is unending dialog between the past and the present.
Mengenai sasaran wawancara, tokoh-tokoh tua di wilayah-wilayah kampung menjadi sasaran penulis. Setidaknya mereka dapat menceritakan jiwa zaman yang mereka rasakan. Meskipun terkadang sumber wawancara sangatlah riskan, namun itu bukan menjadi alasan untuk enggan menggunakan sumber ini. Tokoh-tokoh masyarakat, seperti Aminuddin Kasdi menjadi tokoh penting yang untuk penulis memperoleh keterangan lisan.. Aminuddin Kasdi, sangat familiar dengan background MSI (Masyarakat Sejarah Indonesia), meskipun banyak dari fokus karya beliau lebih condong ke sejarah lokal di Madura, namun beliau diyakinin oleh penulis, mengerti cukup banyak tentang batasan spasial studi ini, yaitu Surabaya. Selain itu, wawancara kepada warga pendatang yang menetap di Surabaya untuk menempuh studi di berbagai universitas juga menjadi sasaran penulis. Pasalnya keberagaman latar belakang inilah yang  dapat memberikan pemahaman mengenai perbedaan etnis di Surabaya.
Teori yang kami gunakan merujuk pada buku Hobsbawm dalam Ranger yang berjudul “The Invention Of Tradition” yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan konrtruksi symbol dan tradisi seremonial pada abad lalu terutama yang dijalankan oleh Inggris (Britsh), diperlihatkan temuan baru yang menolak perspektif kehebatan Barat. Tradisi penemuan (invented tradition) juga muncul dalam wilayah negara-negara terjajah. Teori Invented tradition ini menyebutkan bahwa sekumpulan praktek yang secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan (rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang merupakan proses penanaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masalalu. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa sebuah tradisi ada karena dilakukan secara terus menerus dan hal tersebut tidak langsung mengisyaratkan bahwa tradisi tersebut berasal dari masalalu karena dapat pula baru ada dalam kurun waktu beberapa tahun yang lalu.
Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi pada waktu berlangsungnya transformasi secara cepat,yakni ketika tradisi lama menghilang. Maka dengan menggali hal ini sangat mungkin menemukan berbagai tradisi baik mengenai toleransi keberagaman dalam masyarakat tradisional di Surabaya.
Selanjutnya teori Civil religion yang diungkapkan oleh Robert N. Bellah dan didalami oleh Emile Durkheim. Civil religion diartikan sebagai matra religious umum yang digunakan dalam serangkaian keyakinan, lambang-lambang, serta ritual-ritual yang ada di setiap agama biasa. Civil religion bersifat umum sehingga tidak bertentangan dengan agama biasa. Teori ini dikembangkan oleh J.J. Rousseau dimana Rousseau mengungkapkan bahwa toleransi dalam beragama juga menjadi salah satu dogma yang dihasilkan oleh konsep ini. Selanjutnya kami akan menggunakan teori ini untuk lebih mendalami mengenai sikap toleransi yang dilakukan serentak oleh arek Suroboyo.
Sedangkan konsep toleransi yang kami gunakan merujuk pada teori Tillman dimana konsep toleransi merupakan sikap saling menghargai yang memiliki tujuan. Toleransi adalah metode menuju kedamaian itu sendiri.Toleransi disebut sebagai faktor esensi untuk perdamaian itu sendiri. Maka keberadaan teori ini kami gunakan untuk mengungkapkan mengenai seberapa besar tingkat toleransi dan pengetahuan masyarakat mengenai hal tersebut.
Teori inti dari penelitian ini adalah Melting pot yang dikemukakan oleh J. Hector St. John de Crevecour yang menggambarkan bercampurnya manusia dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini melting pot mengacu pada pada cetakan baru terhadap sebuah budaya yang dipakai untuk melelehkan berbagai asal budaya. Teori ini erat hubungannya dengan Surabaya mengingat adanya peleburan budaya oleh warga pendatang jika sudah menetap dalam kurun waktu yang lama di Surabaya.
Penulisan sebagai tahap akhir dari prosedur penelitian ini diusahakan dengan selalu memperhatikan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya berdasarkan tema-tema penting dari setiap perkembangan objek penelitian.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1  Surabaya sebagai Representasi Kota Multikultural di Indonesia
Louis Wirtht merumuskon kota dalam Urbanization sebagai “... a relatively large, dense and permanent settlement of socially hetergenous individuals”. Kota dideskripsikan sebagai tempat yang tidak hanya berwujud fisik, namun juga memiliki batas administratif yang jelas tetapi tidak dengan batas-batas kulturalnya yang seringkali melanggar batas administrasi. Dalam konteks ini berarti kota adalah sebuah ruang, dimana terjadi interaksi dengan ciri-ciri yang telah disebutkan Louis Wirth.
Keberhasilan Surabaya menjadi kota utama (prime city) di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh peran politik kota tersebut terutama sejak ditetapkan statusnya menjadi gemeente[3] Surabaya pada tahun 1906. Peran ekonomi dan industri menjadikan daerah ini sebagai pusat perdagangan utamanya di Jawa sebelah timur. Kota Surabaya menjadi prime city bukan saja dilihat dari segi kuantitas (wilayah yang kuas, jumlah penduduk yang banyak serta volume perdagangan yang besar) tetapi juga dari segi kualitas.
Beberapa ahli ilmu sosial mengatakan jika kota selalu dihuni oleh penduduk yang multi-heterogen, yaitu mencangkup heterogenitas vertikal dan heterogenitas horizontal. Salah satu aspek dari heterogenitas horizontal adalah munculnya keberagaman etnis dari penduduk kota dan hal ini terjadi di Surabaya. Kemunculan kampung-kampung etnis ini akibat dari peraturan Wijkenstensel yang berisi perintah untuk menempati kampung (tempat tinggal) sesuai etnis masing-masing. Selain itu, peraturan Passenstensel yang menyatakan jika setiap orang yang hendak keluar lingkungan harus menunjukkan surat jalan. Kedua aturan diatas akases keluar-masuk di kawasan Kampung Arab, Pecinan serta pribumi menjadi sulit. Pembagian kampung berdasarkan etnis ini terjadi bukan karena mereka mengekslusifkan diri atau tidak mau berbaur, tapi ini merupakan upaya Belanda untuk mengontrol populasi serta kriminalitas di Surabaya.
Seiring berjalannya waktu, kampung-kampung tersebut telah mengalami perkembangan. Ada kampung etnis yang mengalami perluasan tetapi juga ada yang kini hanya meninggalkan bangunan fisik. Etnis jawa merupakan etnis mayoritas di Surabaya. Jika dibandingkan dengan daerah lain seperti etnis Jawa di Yogyakarta maupun Solo, etnis Jawa di Surabaya memiliki temperamen yang lebih keras dan egaliter. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah letak Surabaya yang jauh dari kraton sebagai pusat budaya Jawa. Persentase etnis Jawa di Surabaya mencapai 83,68%, Madura 7,5%, Tionghoa 7,25%, Arab 2,04% dan sisanya merupakan etnis lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon dan lain sebagainya.
Selain terkenal sebagai kota yang memiliki peranan penting dalam perkembangan perekonomian, Surabaya juga menjadi pusat pendidikan. Menjadi tujuan bagi pemuda atau mahasiswa dari berbagai daerah. Karena arus perpindahan tersebut penduduk Surabaya semakin bertambah sehingga tingkat pluralitas semakin tinggi. Tidak sedikit pula diantara mereka yang kemudian mendirikan komunitas (berdasarkan etnis dan juga budaya) sebagai wadah untuk menyalurkan kemampuan serta kepentingan mereka. Tanpa menghiraukan latar belakang etnis dari mereka berasal. Dalam website resmi pemerintah kota Surabaya (www.surabaya.go.id) disebutkan jika mayoritas agama yang dianut oleh orang Surabaya adalah agama islam, disusul oleh agama China dan seterusnya.
Surabaya terpilih menjadi batasan spasial karena selain kota ini memiliki sejarah panjang, yang dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit (yang terdapat di muara Kali Mas) hingga kota ini berada dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Sampai pada di zaman millenial ini Kota Surabaya tetap eksis dalam perannya. Wilayah yang strategis karena terletak di “Gerbang Kertasusila” membuat banyak orang yang berbondong-bondong datang ke kota ini, mulai dari orang tua sampai pemuda yang memiliki keberagaman etnis dan tujuan yang berbeda untuk kedatangannya.[4] Mereka hidup berdampingan, menjalani kehidupan sehari-hari tanpa ada konflik. Meskipun banyak dari pemuda Surabaya yang berasal dari etnis berbeda, mereka tetap menjaga kerukunan. Multikulturalitas seolah menjadi warna sendiri dalam hubungan sosial mereka.
Keberagaman etnis terutama di kalangan pemuda Surabaya tidak membuat salah satu diantara mereka ingin menonjolkan kelompoknya. Dalam berinteraksi sosial pun mereka justru lebih suka menggunakan bahasa Suroboyoan yang memiliki dialek khas Bahasa Jawa. Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan serta tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa pada umumya. Meskipun begitu bukan berarti orang-orang di Surabaya tidak memiliki sopan santun dalam dirinya. Bahasa Suroboyoan  dalam hal ini tidak hanya berfungsi sebagai media dalam komunikasi semata, tetapi juga media untuk saling mengakrabkan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa meskipun di Surabaya beragam etnis berkembang disini, namun sedikit sekali konflik yang muncul diantara mereka.
Kesamaan dalam bentuk perilaku sehari-hari, konsep pemikiran, perspektif terhadap kehidupan, menjadikan arek Surabaya memiliki loyalitas dan kebanggan tersendiri. Banyak istilah yang mencerminkan kebanggaan arek Surabaya seperti Bonek ataupun umpatan seperti jancok. Dalam perkembangan yang begitu cepat, kata jancok sendiri telah menjadi simbol aksen atau pengucapan dalam setiap aktivitas  yang dilakukan oleh arek Surabaya dari etnis apapun.

4.2  Peran Pemuda Surabaya sebagai Masyarakat Multikultural
Sebagai agent of change pemuda harus memiliki integritas serta kreativitas. Dalam perkembangan sejarah di Indonesia, peran pemuda sangatlah besar. Banyak sekali peran pemuda Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, mulai Dr. Soetomo mendirikan Budi Utomo (1908) pada usia belum genap 20 tahun, Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij (1914) pada usia 20 tahun, Bung Karno mulai terkenal di panggung politik pada usia 22 tahun, Mohammad Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia (1924) di Belanda sewaktu berusia 21 tahun dan masih banyak lagi. Bahkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai tonggak persatuan tekad dalam meraih kemerdekaan.
Berbeda zaman berbeda pula cara yang ditempuh, di era millenial ini  Pemuda (arek) Surabaya dalam hal ini cukup terlihat walaupun fokusnya telah berbeda. Meskipun banyak dari mereka yang memiliki latar  belakang yang berbeda baik dari segi etnis maupun agama dalam berinteraksi sosial, mereka cukup memiliki toleransi yang tinggi. Beberapa kali mereka melakukan kolaborasi dalam sebuah kegiatan seperti Festival Pop Singer Mandarin yang dilaksanakan pada tanggal 19 November 2017 kemarin. Acara ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya yang bertujuan untuk merebutkan piala wali kota. Tidak hanya etnis Tionghoa yang berpartisipasi tetapi juga diikuti oleh mereka yang berasal dari etnis Jawa, Batak hingga Bugis. Kesadaran pemuda akan toleransi antar etnis di kota Surabaya cukup tinggi. Hal ini juga karena peran serta dari pihak Pemerintah Kota Surabaya yang mendukung keberadaan mereka serta sering mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan.
Surabaya pernah menjadi lokasi diadakannya Dialog Pemetaan Nilai Budaya yang berlangsung antara tanggal 9-11 September 2014. Agenda itu bertujuan mengidentifikasi peluang serta tantangan pemetaan nilai budaya dari segi konsep, teknis dan praktis baik di tingkat lokal maupun nasional. Pada diskusi tersebut hadir sekitar 200 orang dari perwakilan 30 provinsi hadir dalam acara yang juga didukung Disparta Jatim. Mereka terdiri dari budayawan, akademisi, pamong budaya, mahasiswa, beresta instansi terkait dari seluruh Indonesia.[5] Menurut Dirjen Kebudayaan periode  2011/2015 Kacung Maridjan Surabaya merupakan sebuah kota yang dihuni oleh berbagai etnis seperti Melayu, Madura, Sunda, Batak, Borneo, Bali, dan Sulawesi, bahkan juga terdapat ernis dari luar seperti Cina, India, Eropa dan Arab. Juga pada acara tersebut peserta membahas secara intensif tentang strategi pembangunan kebudayaan Indonesia pada masa kini dan mendatang. Khusus di Jatim, akan diberikan pula wawasan tentang keragaman etnis di provinsi itu serta pemetaan nilai budaya tersebut.
4.3 Potensi Lokal sebagai Representasi bagi Masyarakat Luas dalam Mewujudkan Masyarakat Damai
Dalam  pembagian wilayah kebudayaan di Jawa Timur, Surabaya termasuk dalam wilayah kebudayaan Arek, meliputi wilayah Surabaya hingga Malang. Setiap wilayah kebudayaan mempunyai ciri khas masing-masing. Wilayah budaya Arek masyarakatnya terkenal dengan karakternya terbuka terhadap perubahan, dinamis, solidaritas tinggi, berani, semangat juang yang tinggi, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai tekad menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok opo enake, sama-sama senang. dll. Karakter yang dimunculkan tersebut tidak lepas dari letak geografis wilayah dan kultur yang telah ada sebelumnya. Wilayah Surabaya yang termasuk wilayah pesisir membentuk masyarakat yang terbuka terhadap perubahan.
     Keberadaan kebudayaan arek apabila ditinjau dari sudut pandang historis merupakan sebuah upaya untuk menentang dominasi kebudayaan mataram. Kerajaan Mataram dalam penguasaannya di Jawa Timur membentuk masyarakatnya sesuai kebudayaan keraton. Hal tersebut merupakan sebuah legitimasi bahwa sebuah daerah secara sepenuhnya telah ditakhlukan. Namun, ada beberapa daerah yang menetang akan dominasi tersebut contohnya wilayah Surabaya. Upaya menentang tersebut diwujudkan dengan penggunaan bahasa dan karakter yang jauh berbeda dengan kebudayaan keraton. Dari segi penggunaan bahasa, budaya mataram mempunyai tingkatan masing-masing seperti penggunaan bahasa krama inggil, krama madya, dan krama ngoko.  Sedangkan wilayah Surabaya membentuk komunitas masyarakat tersendiri yaitu Arek yang bersifat egaliter atau tidak menggunakan tingakatan.
     Setelah industrialisasi masuk, atau jauh sebelumnya ketika Surabaya menjadi sebuah pusat pelabuhan masa kolonial wilayah Surabaya menjadi menarik bagi pendatang dari berbagai wilayah. Menjadikannya salah satu melting pot atau kuali peleburan kebudayaan di Jatim. Pendatang dari berbagai kelompok etnis yang ada untuk mencari keuntungan ekonomi yang tumbuh pesat. Meski luas wilayahnya hanya 17 persen dari keseluruhan luas Jatim, separuh (49 persen) aktivitas ekonomi Jatim ada di kawasan ini.[6]
Masyarakat pendatang secara sadar maupun tidak menerima kebudayaan Arek dibuktikan dengan makin banyaknya jumlah pendatang dan macam etnis dari tahun ke tahun. Para pendatang tersebut secara tidak langsung melebur dengan kebudayaan lokal yaitu kebudayaan arek. Sehingg para pendatang tersebut menjadi bagian dari kebudayaan arek. Namun terdapat dampak lain yaitu perlahan-lahan kebudayaan arek juga mengalami perubahan contoh dalam penggunaan bahasanya, seperti njegog (belok), ndherok (berhenti), gog (paman), maklik (tante)[7] yang sudah tidak digunakan kembali.
     Karakter-karater budaya Arek apabila ditunjukkan berdasarkan porsi masing-masing dapat dijadikan sebuah karakter representatif dalam mewujudkan masyarakat damai untuk melawan dinamika mulitikultural, radikalisme, bahkan terorime. Menurut Dr Ananto, tidak ada tempat bagi terorisme di Surabaya selama karakter arek-arek masih ada. Terorisme yang mengacu pada siapapun yang tindakannya memberikan rasa ketakutan dan tidak aman pada rakyat harus diperangi.[8] Bahkan karakter tersebut dapat dijadikan sebagai karakter bangsa.
     Masyarakat multikultural mempunyai tantangan pergeseran budaya didalamnya. Untuk dapat menjaga keutuhan masyarakat tersebut diperlukan karakter komunal membentuk sebuah persepsi hidup bersama dalam suatu komunitas. Karakter terbuka arek Suroboyo dapat menerima perbedaan-perbedaan dalam masyarakat dapat dijadikan contoh sikap dalam sebuah masyarakat multikultural. Arek Suroboyo yang juga mempunyai solidaritas tinggi  juga merupakan suatu bentuk representasi hidup bersama dalam sebuah masyarkat multikural. Sikap-sikap positif yang adalam dalam arek Suroboyo merupakan suatu bentuk sikap yang dapat dijadikan contoh bagi pemuda di wilayah lain untuk menjaga perdamaian Indonesia.


BAB V
PENUTUP
5.1  Kesimpulan
Surabaya merupakan sebuah kota multi-etnik yang terdiri berbagai suku baik dari dalam maupun dari luar. Alasan Surabaya menjadi kota tujuan karena disebabkan oleh beberapa faktor, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari segi perekonomian, pendidikan, dll. Keberagaman etnis terutama di kalangan pemuda Surabaya tidak membuat salah satu diantara mereka ingin menonjolkan kelompoknya. Dalam berinteraksi sosial pun mereka justru lebih suka menggunakan bahasa Suroboyoan yang memiliki dialek khas Bahasa Jawa. Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan serta tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa pada umumya. Karakter-karater budaya Arek apabila ditunjukkan berdasarkan porsi masing-masing dapat dijadikan sebuah karakter representatif dalam mewujudkan masyarakat damai untuk melawan dinamika mulitikultural, radikalisme, bahkan terorime. Tidak ditemukannya kasus etnisitas yang mencuat signifikan dapat menjadikan Surabaya sebuah representasi masyarakat damai.


DAFTAR PUSTAKA

Ignatius Kristanto Dan Yohan Wahyu, Kuali Peleburan Di Tlatah Jawa Timur, diakses dari http://Nasional.Kompas.Com/Read/2008/07/21/00594333/Kuali.Peleburan.Di.Tlatah.Jawa.Timu diakses Senin 20 November 2017 Pukul 21.00 WIB
Kuntowijoyo. 2003. Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Leni, Nurhasanah. 2012. “Demokrasi Dan Budaya Politik Lokal Di Jawa Timur”. Jurnal TAPIs Vol.8 No.1.
Supriyanto, Helmi “Menguatkan Karakter Suroboyoan Menangkal Terorisme”, diakses dari http://harianbhirawa.com/2017/08/menguatkan-karakter-suroboyoan-menangkal-terorisme/ pada 20 November 2017 pukul 22.00 WIB
Windhu, I Marsana. 1992 . Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius.
Yuniarti, Silvi. 2013. “Hubungan Antar Etnis di Pasar Pabean Surabaya”, dalam Arya W. Wirayuda dan Bachtiar Ridho E., Mengeja Keseharian, Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.




[1] Windhu, I Marsana. 1992 . Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius. Hlm. 67
[2]Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 64
[3] Kota Otonom yang memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri.
[4] Yuniarti, Silvi. 2013. “Hubungan Antar Etnis di Pasar Pabean Surabaya”, dalam Arya W. Wirayuda dan Bachtiar Ridho E., Mengeja Keseharian, Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, hlm. 23.
[6]Ignatius Kristanto Dan Yohan Wahyu, Kuali Peleburan Di Tlatah Jawa Timur, diakses dari http://Nasional.Kompas.Com/Read/2008/07/21/00594333/Kuali.Peleburan.Di.Tlatah.Jawa.Timu diakses Senin 20 November 2017 Pukul 21.00 WIB
[7] Nurhasanah Leni, “Demokrasi Dan Budaya Politik Lokal Di Jawa Timur”, Jurnal TAPIs Vol.8 No.1, 2012, hlm. 26
[8] Helmi Supriyanto, “Menguatkan Karakter Suroboyoan Menangkal Terorisme”, diakses dari http://harianbhirawa.com/2017/08/menguatkan-karakter-suroboyoan-menangkal-terorisme/ pada 20 November 2017 pukul 22.00 WIB 

You May Also Like

0 komentar