Bercermin pada Arek Suroboyo : Menjawab Tantangan Multikultural untuk Mewujudkan Masyarakat Damai sesuai SDGs
Bercermin pada Arek
Suroboyo : Menjawab Tantangan Multikultural untuk Mewujudkan Masyarakat Damai
sesuai SDGs
Diusulka oleh :
Dina Stevany Ernayasari 121511433007 2015
Laras Setyaningsih 121511433046 2015
Nia Nur Malasari 121511433073 2015
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses integrasi antar etnis, khususnya
antara pemuda (arek) Surabaya yang
memiliki latar belakang perbedaan etnis berbeda. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kualitatif yakni melalui studi literatur serta interview.
Penelitian ini menggunakan sample lokasi di Surabaya, khusunya arek Surabaya yang sedang menempuh
pendidikan di bangku universitas. Kesimpulan hasil penelitian ini antara lain
bahwa tingkat pluralitas yang tinggi di Surabaya tidak berakibat pada adanya
diskriminatif persoalan etnis, agama maupun pada tingkat kesejahteraan sosial.
Kondisi seperti ini disebabkan karena faktor sejarah dari kota Surabaya sendiri
serta kesediaan dalam menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Dukungan
dari Pemerintah Kota Surabaya dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pluralitas sebagai usaha pemerintah dalam mempertahankan multikulturalisme arek Surabaya.
Kata
kunci : Arek,
Surabaya, Multikultural, Etnis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada
tahun 2014 Antara News merilis kabar
mengenai konflik antar etnis di Indonesia yang berjumlah 100 kasus berdasarkan
data dari Kepolisian Republik Indonesia. Namun disisi lain kita tahu bahwa
jumlah etnis yang ada di Indonesia tidak lebih dari 300 suku. Hal ini membawa
fakta penting bahwa hampir setengah dari suku-suku di Indonesia pernah
mengalami konflik antar etnis. Keberadaan etnosentrisme yang tinggi,kurangnya
tenggang rasa antar sesama penduduk dalam satu wilayah, perselisihan akibat
ekonomi menjadi beberapa hal yang memicu timbulnya konflik antar suku di
wilayah-wilayah di Indonesia. Konflik besar seperti konfliksampit antara suku
dayak dan suku madura pada tahun 2001, konflik antar suku di papua yang terjadi
pada tahun 2005 dan berbagai konflik antar suku lainnya rata-rata tidak
dilakukan oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah saja. Namun
tingkat pendidikan yang cukup tinggi juga masih berpeluang menjadi pelaku
konflik. Hal ini menunjukan fakta bahwa pendidikan karakter dan toleransi perlu
diadakan.
Berangkat
dari permasalahan diatas pada tahun 2015 masyarakat global mengumukan proyek
besar dunia mengenai Sustainable
Development Goals atau SDGs. Mayoritas dari penduduk dunia menanggapi
positif proyek tersebut namun tidak jarang yang menangapi sebaliknya dengan
argumen bahwa proyek tersebut terlalu besar dan ambisius. Namun keluar dari
persepsi tersebut penulis tertarik untuk membahas mengenai poin SDGs yang
berbunyi mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, memberikan akses keadilan bagi semua dan membangun institusi
akuntabel dan inklusif yang efektif. Permasalahan keberagaman di Indonesia
memiliki penyelesaian masalah dalam poin SDGs tersebut.
Konsep
mengenai masyarakat damai sebelumnya belum pernah ada namun dapat didefinisikan
dalam kata-perkata. Menurut kamus besar bahasa Indonesia makna perdamaian
dipahami sebagai keadaan tanpa perang, kekerasan dan konflik . Galtung
mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam dua
pengertian, yaitu perdamaian negatif dan positif [1].
Sedangkan konsep mengenai Multikultural dikemukakan oleh Parsudi Suparlan bahwa
akar kata dari Multikultural adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat
fungsinya sebagai pedoman hidup dari manusia. Multikultural sedikit berbeda
dengan keberagaman karena dalam multikultural lebih ditekankan bahwa
keanekaragaman kebudayaan memiliki kesederajatan. Dalam penelitian ini kami
menggunakan wilayah spasial Surabaya dengan objek penelitian adalah pemuda
Surabaya atau yang akrab dikenal dengan arek Suroboyo. Dalam banyak tulisan
salah satunya yang diterbitkan oleh majalah Tempo pada november 2015, Surabaya
menjadi kota denganangka toleransi tertinggi. Angka tersebut merupakan hasil
kalkulasi antara jumlah konflik dengan banyaknya etnis yang hidup dan mendiami
Surabaya.
Pemuda
dalam penulisan ini kami menggunakan pengertian dari UU nomor 40 tahun 2009
yakni dengan rentang usia 16- 30 tahun. Dan kami klasifikasikan dengan
mahasiswa, mengingat Surabaya merupakan salah satu kota dengan penduduk
pendatang untuk belajar di perguruan tinggi. Sehingga mahasiswa dari luar
daerah merupakan sasaran yang tepat dalam penelitian ini. Maka dengan argumen yang
disebutkan di atas, Surabaya dianggap mampu menjawab permasalahan mengenai
multikultural. Dan penduduk Indonesia dapat menjadikan Surabaya sebagai cermin
dari budaya toleransi.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
melatarbelakangi kota Surabaya dijadikan sebagai wilayah spasial penelitian
ini?
2.
Bagaimana peran
pemuda di kota Surabaya sebagai masyarakat multikultural ?
3.
Apa sajakah
potensi lokal yang dapat dijadikan representasi bagi masyarakat luas dalam
mewujudkan masyarakat yang damai?
1.3
Tujuan dan Manfaat
Penelitian
ini bertujuan untuk mengungkapkan multikultural antar entis di Surabaya yang
dilihat dari sudut pandang sosial. Sehingga diharapkan setelah penelitian ini selesai
dapat memberikan gambaran mengenai realita saat ini. Selain itu tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menambah khasanah serta historiografi terhadap ilmu
pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Peneliti membandingkan dengan hasil
penelitian orang lain yang peneliti peroleh dari beberapa penelitian terdahulu
tentang kerukunan antar agama. Adapun penelitian terdahulu yang dianggap cukup
relevan dengan penelitian ini diantaranya:
1.
Skripsi yang ditulis oleh Achmad Sami’an Fakultas Ushuluddin
Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2000, berjudul “Kerukunan
Hidup Antar Beragama Islam dan Kristen di PT Siwi, Desa Tanjungan kecamatan
Priyorejo, kabupaten Gresik” yang dibahas dalam skripsi ini mengenai konsep
kerukunan yang terjadi di PT Siwi cukup baik dan faktor pendorong terjadinya
kerukunan antar karyawan yang beragama Islam dan Kristen ialah kesadaran yang
bebas dari segala bentuk tekanan atau pengaruh, kondisi sosial, keagamaan,
terjalin ketentraman dan kedamaian.
Sedangkan topik yang
peneliti angkat tentang kerukunan antar etnis di wilayah Surabaya yang tedapat berbagai
etnis sekaligus yang memiliki pengaruh dalam interaksi sosial kehidupan mereka.
Alasan peneliti memilik skripsi tersebut yaitu sebagai tambahan referensi
pengetahuan adalah wilayah kabupaten Gresik memiliki topologi wilayah serta
kedekatan dengan Surabaya.
2.
Skripsi yang lain ditulis oleh Achmad Fauzi
Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun
2006, berjudul “Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Gresik” dalam
skripsi ini Ia menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kerukunan antar umat beragama di
Gresik dialok, musyawarah bersama, gotong royong dalam bidang kemanusiaan serta
kegiatan lainnya yang semuanya telah diwadahi dan direalisasikan oleh BKSAG
(Badan Kerukunan Umat Beragama Se-Kabupaten Gresik dan Pemerintah Kabuaten
Gresik. Faktor yang mendukung kerukunan hidup antar umat beragama ialah
toleransi dari semua pihak yang bersangkutan. Serta konsep kerukunan hidup
antar umat beragama Islam, Kristen, Kong Hu Cu ada sebuah benang merah yang
dapat ditarik dan dijadikan landasan hidup rukun antar umat Beragama yaitu
sama-sama mengajarkan cinta, kasih saying, dan penuh kedamaian sesama umat
manusia. Dengan menggunakan landasan teori filsafat pancasila dan jenis
penelian deskriptif kualitatif. Alasan
peneliti memilih skripsi tersebut sebagai tambahan kajian atau referensi
pengetahuan dalam penelitian tentang “Kerukunan Antar Agama di Kampung
Kristen (di Dusun Kwangenrejo Desa Leran Kecamatan Kalitidu Kabupaten
Bojonegoro)” skripsi tersebut peneliti anggap sesuai serta medukung tema
yang akan peneliti angkat sebagai judul skripsi. Karena skripsi yang ditulis
oleh Achmad Fauzi membahas tentang Kerukunan Antar Umat Beragama di Gresik
jenis penelitian Deskriptif kualitatif.
Berbagai tulisan mengenai toleransi yang
memiliki kedekatan dengan Surabaya tersebut tidak benar-benar memiliki kesamaan
dengan kajian ini, mengingat dalam batas wilayah pun.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan metode penelitian emik dimana peneliti menempatkan
objek penelitian sebagai subjek dan hidup bersama dengan masyarakat sekitar
dalam kurun waktu yang lama. Pendekatan dilakukan dengan memadukan kualitatif
deskriptif. Penelitian deskriptif
dilakukan untuk meneliti sebuah realitas masyarakat tertentu, dimana informasi
tentang hal tersebut sudah ada walaupun tidak terperinci dan lengkap. Secara
umum, penelitian ini memiliki kerangka pemikiran yang tersusun mulai dari
realitas di lapangan yang diangkat menjadi hipotesis sementara. Hipotesis yang
dihasilkan adalah bahwa Surabaya merupakan salah wilayah yang memiliki tingkat
toleransi akan keberagaman yang tinggi. Sehingga konsep utama penelitian ini
adalah untuk mengetahui kebenaran hipotesis tersebut, merumuskan metode apakah
yang dapat digunakan oleh wilayah lain dengan berkaca pada Surabaya.
Teknik pengumpulan data
yang dipilih merupakan kolaborasi antara observasi lapangan, wawancara
mendalam, dan juga studi dokumentasi.
Cara-cara tersebut dilakukan secara bertahap, pertama peneliti terjun ke
lapangan untuk melakukan observasi, lalu mengimbanginya dengan wawancara di
lapangan, dan bagian terakhir adalah studi dokumentasi yang dimiliki oleh
institusi setempat. Penelitian ini dilaksanakan dengan bantuan subjek-subjek
yang menjadi narasumber wawancara, subjek tersebut disebut sebagai bahan utama
penelitian. Selain narasumber, data-data yang didapatkan di lapangan juga menjadi
bahan utama. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti berperan penting sebagai
salah satu alat utama penelitian dan ditunjang dengan alat-alat teknis yang
membantu selama penelitian seperti alat rekam, kamera untuk dokumentasi, alat
tulis, dan lain-lain
Berkaca pula pada metodelogi sejarah,
Kuntowijoyo menjelaskan beberapa jenis pendekatan penelitan sejarah. Posisi
kajian ini dalam klasifikasi penelitan sejarah yang dibuat Kuntowijoyo, masuk
dalam sejarah kota. Permasalahan yang menjadi bidang kajian sejarah kota
sesungguhnya luas sekali, seluas sejarah sosial sendiri, sehingga kadang orang
menjadi heran apa saja yang tidak termasuk sejarah kota. Keluasan itu mendorong
penulisan sejarah kota dapat dimasukkan ke dalam sejarah lokal; dan dari segi
lain dapat dimsukkan ke dalam sejarah lainnya, seperti sejarah ekonomi,
politik, demografi, dan sebagainya. Bidang garapan sejarah kota juga dapat
mencakup perkembangan ekologi kota. Ekologi ialah interaksi antara manuisa dan
alam sekitarnya, dan perubahan ekologi terjadi jika suatu komponen mengalami
perubahan.[2]
Pengumpulan data atau sumber sebagai
langkah yang pertama kali dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan penggunaan
data atau sumber tersebut. Secara pasti sebelum data atau dokumen tersebut
digunakan, terlebih dulu harus dilakukan verifikasi sumber baik ekstern maupun
intern.
Sumber-sumber primer terkait pokok bahasan penulis tentang hubungan
antar etnis di Surabaya tidaklah cukup banyak, namun demikian hal tersebut harus
disertai jelinya penulis dalam memilah sumber-sumber mana saja yang layak
digunakan. Proporsi penggunaan sumber primer dalam jumlah besar memungkinkan
studi ini memperoleh tingkat objektifitas yang dapat dipertanggung jawabkan.
Sumber-sumber primer yang menjadi landasan adalah beberapa koran surabaya
misalnya, Surabaya Post, Pawarta
Surabaya, Java Post dan juga beberapa arsip tentang kota Surabaya. Arsip
tentang Surabaya dapat penulis dapatkan dengan jumlah yang besar di Arsip Kota
Surabaya, namun hal tersebut tidak demikian mudahnya. Wilayah Surabaya yang
tumbuh dari utara ke selatan menyebabkan mayoritas sumber yang tersedia adalah
sumber-sumber wilayah yang lebih tua. Sedangkan wilayah barat hanya sedikit dan
baru berkembang setelah Surabaya mengalami satu babak sejarah, yaitu revolusi
1955.
Beberapa
kajian tentang hubungan antar etnis dalam masyarakat menjadi tolak ukur penulis
dalam menganalisa sumber-sumber yang digunakan. Beberapa kajian sebelumnya
dengan status sumber sekunder yang jumlahnya melimpah ruah memberikan banyak
informasi bagi penulis namun juga menjadikan tuntutan studi ini berbeda dengan
kajian-kajian sebelumnya yang melimpah ruah tadi. Susah-susah gampang mungkin
adalah satu kalimat yang dapat menjelaskan secara gamblang tentang metode
penggunaan sumber tertulis dalam studi ini.
Kembali
pada rohnya, penulisan sejarah tidak hanya harus dilandaskan pada sumber-sumber
tertulis saja namun, juga sumber-sumber lisan. Penggunaan sumber lisan
memberikan suatu sumbangsih besar bagi penulis untuk membentuk perasaannya
dalam proses intrepetasi dan penulisan sejarah. Sebanyak-banyaknya jenis sumber
yang dimanfaatkan maka semakin kuat perbandingan yang terbentuk. Perbandingan
ini berfungsi mengalisa sedalam-dalamnya peristiwa apa yang sesungguhnya
terjadi, karena bagi beberapa sejarawan, sejarah ditulis bukan untuk masanya
tapi untuk masa kini. E.Carr misalnya, mengutarakan bahwa history is unending dialog between the past and the present.
Mengenai
sasaran wawancara, tokoh-tokoh tua di wilayah-wilayah kampung menjadi sasaran
penulis. Setidaknya mereka dapat menceritakan jiwa zaman yang mereka rasakan.
Meskipun terkadang sumber wawancara sangatlah riskan, namun itu bukan menjadi
alasan untuk enggan menggunakan sumber ini. Tokoh-tokoh masyarakat, seperti Aminuddin
Kasdi menjadi tokoh penting yang untuk penulis memperoleh keterangan lisan..
Aminuddin Kasdi, sangat familiar dengan background MSI (Masyarakat Sejarah
Indonesia), meskipun banyak dari fokus karya beliau lebih condong ke sejarah
lokal di Madura, namun beliau diyakinin oleh penulis, mengerti cukup banyak
tentang batasan spasial studi ini, yaitu Surabaya. Selain itu, wawancara kepada
warga pendatang yang menetap di Surabaya untuk menempuh studi di berbagai
universitas juga menjadi sasaran penulis. Pasalnya keberagaman latar belakang
inilah yang dapat memberikan pemahaman
mengenai perbedaan etnis di Surabaya.
Teori
yang kami gunakan merujuk pada buku Hobsbawm dalam Ranger yang berjudul “The
Invention Of Tradition” yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan
konrtruksi symbol dan tradisi seremonial pada abad lalu terutama yang
dijalankan oleh Inggris (Britsh), diperlihatkan temuan baru yang menolak
perspektif kehebatan Barat. Tradisi penemuan (invented tradition) juga muncul
dalam wilayah negara-negara terjajah. Teori Invented tradition ini menyebutkan
bahwa sekumpulan praktek yang secara normal diatur secara terbuka atau secara
diam-diam diterima sebagai aturan (rules) dan merupakan bagian dari
sebuah ritual atau sifat simbolik, yang merupakan proses penanaman norma-norma
dan nilai-nilai yang tertentu dari perilaku melalui pengulangan, dan secara
otomatis menyiratkan kesinambungan dengan masalalu. Dalam hal ini dimaksudkan
bahwa sebuah tradisi ada karena dilakukan secara terus menerus dan hal tersebut
tidak langsung mengisyaratkan bahwa tradisi tersebut berasal dari masalalu
karena dapat pula baru ada dalam kurun waktu beberapa tahun yang lalu.
Dalam
buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi pada waktu
berlangsungnya transformasi secara cepat,yakni ketika tradisi lama menghilang. Maka
dengan menggali hal ini sangat mungkin menemukan berbagai tradisi baik mengenai
toleransi keberagaman dalam masyarakat tradisional di Surabaya.
Selanjutnya
teori Civil religion yang diungkapkan oleh Robert N. Bellah dan didalami oleh
Emile Durkheim. Civil religion diartikan sebagai matra religious umum yang
digunakan dalam serangkaian keyakinan, lambang-lambang, serta ritual-ritual
yang ada di setiap agama biasa. Civil religion bersifat umum sehingga tidak
bertentangan dengan agama biasa. Teori ini dikembangkan oleh J.J. Rousseau
dimana Rousseau mengungkapkan bahwa toleransi dalam beragama juga menjadi salah
satu dogma yang dihasilkan oleh konsep ini. Selanjutnya kami akan menggunakan
teori ini untuk lebih mendalami mengenai sikap toleransi yang dilakukan
serentak oleh arek Suroboyo.
Sedangkan
konsep toleransi yang kami gunakan merujuk pada teori Tillman dimana konsep
toleransi merupakan sikap saling menghargai yang memiliki tujuan. Toleransi
adalah metode menuju kedamaian itu sendiri.Toleransi disebut sebagai faktor
esensi untuk perdamaian itu sendiri. Maka keberadaan teori ini kami gunakan
untuk mengungkapkan mengenai seberapa besar tingkat toleransi dan pengetahuan
masyarakat mengenai hal tersebut.
Teori
inti dari penelitian ini adalah Melting
pot yang dikemukakan oleh J. Hector St. John de Crevecour yang
menggambarkan bercampurnya manusia dari latar belakang berbeda menjadi bangsa
baru “manusia baru”. Dalam hal ini melting
pot mengacu pada pada cetakan baru terhadap sebuah budaya yang dipakai
untuk melelehkan berbagai asal budaya. Teori ini erat hubungannya dengan
Surabaya mengingat adanya peleburan budaya oleh warga pendatang jika sudah
menetap dalam kurun waktu yang lama di Surabaya.
Penulisan
sebagai tahap akhir dari prosedur penelitian ini diusahakan dengan selalu
memperhatikan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya berdasarkan tema-tema
penting dari setiap perkembangan objek penelitian.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Surabaya sebagai Representasi Kota
Multikultural di Indonesia
Louis Wirtht merumuskon
kota dalam Urbanization sebagai “...
a relatively large, dense and permanent settlement of socially hetergenous
individuals”. Kota dideskripsikan sebagai tempat yang tidak hanya berwujud
fisik, namun juga memiliki batas administratif yang jelas tetapi tidak dengan
batas-batas kulturalnya yang seringkali melanggar batas administrasi. Dalam
konteks ini berarti kota adalah sebuah ruang, dimana terjadi interaksi dengan
ciri-ciri yang telah disebutkan Louis Wirth.
Keberhasilan Surabaya menjadi
kota utama (prime city) di Indonesia
tidak bisa dilepaskan oleh peran politik kota tersebut terutama sejak
ditetapkan statusnya menjadi gemeente[3] Surabaya pada
tahun 1906. Peran ekonomi dan industri menjadikan daerah ini sebagai pusat
perdagangan utamanya di Jawa sebelah timur. Kota Surabaya menjadi prime city bukan saja dilihat dari segi
kuantitas (wilayah yang kuas, jumlah penduduk yang banyak serta volume
perdagangan yang besar) tetapi juga dari segi kualitas.
Beberapa ahli ilmu
sosial mengatakan jika kota selalu dihuni oleh penduduk yang multi-heterogen,
yaitu mencangkup heterogenitas vertikal dan heterogenitas horizontal. Salah
satu aspek dari heterogenitas horizontal adalah munculnya keberagaman etnis
dari penduduk kota dan hal ini terjadi di Surabaya. Kemunculan kampung-kampung
etnis ini akibat dari peraturan Wijkenstensel
yang berisi perintah untuk menempati kampung (tempat tinggal) sesuai etnis
masing-masing. Selain itu, peraturan Passenstensel
yang menyatakan jika setiap orang yang hendak keluar lingkungan harus
menunjukkan surat jalan. Kedua aturan diatas akases keluar-masuk di kawasan
Kampung Arab, Pecinan serta pribumi menjadi sulit. Pembagian kampung
berdasarkan etnis ini terjadi bukan karena mereka mengekslusifkan diri atau
tidak mau berbaur, tapi ini merupakan upaya Belanda untuk mengontrol populasi
serta kriminalitas di Surabaya.
Seiring berjalannya
waktu, kampung-kampung tersebut telah mengalami perkembangan. Ada kampung etnis
yang mengalami perluasan tetapi juga ada yang kini hanya meninggalkan bangunan
fisik. Etnis jawa merupakan etnis mayoritas di Surabaya. Jika dibandingkan
dengan daerah lain seperti etnis Jawa di Yogyakarta maupun Solo, etnis Jawa di
Surabaya memiliki temperamen yang lebih keras
dan egaliter. Salah satu yang menjadi
penyebabnya adalah letak Surabaya yang jauh dari kraton sebagai pusat budaya Jawa. Persentase etnis Jawa
di Surabaya mencapai 83,68%, Madura 7,5%, Tionghoa 7,25%, Arab 2,04% dan
sisanya merupakan etnis lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, Minangkabau,
Dayak, Toraja, Ambon dan lain sebagainya.
Selain terkenal sebagai
kota yang memiliki peranan penting dalam perkembangan perekonomian, Surabaya
juga menjadi pusat pendidikan. Menjadi tujuan bagi pemuda atau mahasiswa dari
berbagai daerah. Karena arus perpindahan tersebut penduduk Surabaya semakin
bertambah sehingga tingkat pluralitas semakin tinggi. Tidak sedikit pula
diantara mereka yang kemudian mendirikan komunitas (berdasarkan etnis dan juga
budaya) sebagai wadah untuk menyalurkan kemampuan serta kepentingan mereka.
Tanpa menghiraukan latar belakang etnis dari mereka berasal. Dalam website
resmi pemerintah kota Surabaya (www.surabaya.go.id)
disebutkan jika mayoritas agama yang dianut oleh orang Surabaya adalah agama
islam, disusul oleh agama China dan seterusnya.
Surabaya terpilih
menjadi batasan spasial karena selain kota ini memiliki sejarah panjang, yang
dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit (yang terdapat di muara Kali Mas)
hingga kota ini berada dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Sampai pada di zaman
millenial ini Kota Surabaya tetap eksis dalam perannya. Wilayah yang strategis
karena terletak di “Gerbang Kertasusila” membuat banyak orang yang
berbondong-bondong datang ke kota ini, mulai dari orang tua sampai pemuda yang
memiliki keberagaman etnis dan tujuan yang berbeda untuk kedatangannya.[4]
Mereka hidup berdampingan, menjalani kehidupan sehari-hari tanpa ada konflik.
Meskipun banyak dari pemuda Surabaya yang berasal dari etnis berbeda, mereka
tetap menjaga kerukunan. Multikulturalitas
seolah menjadi warna sendiri dalam hubungan sosial mereka.
Keberagaman etnis
terutama di kalangan pemuda Surabaya tidak membuat salah satu diantara mereka
ingin menonjolkan kelompoknya. Dalam berinteraksi sosial pun mereka justru
lebih suka menggunakan bahasa Suroboyoan
yang memiliki dialek khas Bahasa Jawa. Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan serta tidak mengenal ragam
tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa pada umumya. Meskipun begitu bukan berarti
orang-orang di Surabaya tidak memiliki sopan santun dalam dirinya. Bahasa Suroboyoan dalam hal ini tidak hanya berfungsi sebagai
media dalam komunikasi semata, tetapi juga media untuk saling mengakrabkan. Hal
inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa meskipun di Surabaya beragam etnis
berkembang disini, namun sedikit sekali konflik yang muncul diantara mereka.
Kesamaan dalam bentuk
perilaku sehari-hari, konsep pemikiran, perspektif terhadap kehidupan,
menjadikan arek Surabaya memiliki
loyalitas dan kebanggan tersendiri. Banyak istilah yang mencerminkan kebanggaan
arek Surabaya seperti Bonek ataupun
umpatan seperti jancok. Dalam
perkembangan yang begitu cepat, kata jancok
sendiri telah menjadi simbol aksen atau pengucapan dalam setiap
aktivitas yang dilakukan oleh arek Surabaya dari etnis apapun.
4.2 Peran
Pemuda Surabaya sebagai Masyarakat Multikultural
Sebagai agent of change pemuda harus memiliki
integritas serta kreativitas. Dalam perkembangan sejarah di Indonesia, peran
pemuda sangatlah besar. Banyak sekali peran
pemuda Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, mulai Dr.
Soetomo mendirikan Budi Utomo (1908) pada usia belum genap 20 tahun, Soewardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij (1914) pada usia
20 tahun, Bung Karno mulai terkenal di panggung politik pada usia 22 tahun,
Mohammad Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia (1924) di Belanda sewaktu
berusia 21 tahun dan masih banyak lagi. Bahkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 sebagai tonggak persatuan tekad dalam meraih kemerdekaan.
Berbeda zaman berbeda
pula cara yang ditempuh, di era millenial ini
Pemuda (arek) Surabaya dalam
hal ini cukup terlihat walaupun fokusnya telah berbeda. Meskipun banyak dari
mereka yang memiliki latar belakang yang
berbeda baik dari segi etnis maupun agama dalam berinteraksi sosial, mereka
cukup memiliki toleransi yang tinggi. Beberapa kali mereka melakukan kolaborasi
dalam sebuah kegiatan seperti Festival Pop Singer Mandarin yang dilaksanakan
pada tanggal 19 November 2017 kemarin. Acara ini diselenggarakan oleh
Pemerintah Kota Surabaya yang bertujuan untuk merebutkan piala wali kota. Tidak
hanya etnis Tionghoa yang berpartisipasi tetapi juga diikuti oleh mereka yang
berasal dari etnis Jawa, Batak hingga Bugis. Kesadaran pemuda akan toleransi
antar etnis di kota Surabaya cukup tinggi. Hal ini juga karena peran serta dari
pihak Pemerintah Kota Surabaya yang mendukung keberadaan mereka serta sering
mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan.
Surabaya pernah menjadi lokasi
diadakannya Dialog Pemetaan Nilai Budaya yang berlangsung antara tanggal 9-11
September 2014. Agenda itu bertujuan mengidentifikasi peluang serta tantangan
pemetaan nilai budaya dari segi konsep, teknis dan praktis baik di tingkat
lokal maupun nasional. Pada diskusi tersebut hadir sekitar 200 orang dari
perwakilan 30 provinsi hadir dalam acara yang juga didukung Disparta Jatim.
Mereka terdiri dari budayawan, akademisi, pamong budaya, mahasiswa, beresta
instansi terkait dari seluruh Indonesia.[5]
Menurut Dirjen Kebudayaan periode
2011/2015 Kacung Maridjan Surabaya merupakan sebuah kota yang dihuni
oleh berbagai etnis seperti Melayu, Madura, Sunda, Batak, Borneo, Bali, dan
Sulawesi, bahkan juga terdapat ernis dari luar seperti Cina, India, Eropa dan
Arab. Juga pada acara tersebut peserta membahas secara intensif tentang
strategi pembangunan kebudayaan Indonesia pada masa kini dan mendatang. Khusus
di Jatim, akan diberikan pula wawasan tentang keragaman etnis di provinsi itu
serta pemetaan nilai budaya tersebut.
4.3 Potensi Lokal sebagai Representasi bagi
Masyarakat Luas dalam Mewujudkan Masyarakat Damai
Dalam pembagian wilayah kebudayaan
di Jawa Timur, Surabaya termasuk dalam wilayah kebudayaan Arek, meliputi
wilayah Surabaya hingga Malang. Setiap wilayah kebudayaan mempunyai ciri khas
masing-masing. Wilayah budaya Arek masyarakatnya terkenal dengan karakternya
terbuka terhadap perubahan, dinamis, solidaritas tinggi, berani, semangat juang
yang tinggi, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai tekad
menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok
opo enake, sama-sama senang. dll. Karakter yang dimunculkan tersebut tidak
lepas dari letak geografis wilayah dan kultur yang telah ada sebelumnya.
Wilayah Surabaya yang termasuk wilayah pesisir membentuk masyarakat yang
terbuka terhadap perubahan.
Keberadaan kebudayaan arek apabila ditinjau
dari sudut pandang historis merupakan sebuah upaya untuk menentang dominasi
kebudayaan mataram. Kerajaan Mataram dalam penguasaannya di Jawa Timur
membentuk masyarakatnya sesuai kebudayaan keraton. Hal tersebut merupakan
sebuah legitimasi bahwa sebuah daerah secara sepenuhnya telah ditakhlukan.
Namun, ada beberapa daerah yang menetang akan dominasi tersebut contohnya
wilayah Surabaya. Upaya menentang tersebut diwujudkan dengan penggunaan bahasa
dan karakter yang jauh berbeda dengan kebudayaan keraton. Dari segi penggunaan
bahasa, budaya mataram mempunyai tingkatan masing-masing seperti penggunaan
bahasa krama inggil, krama madya, dan krama ngoko. Sedangkan wilayah Surabaya membentuk
komunitas masyarakat tersendiri yaitu Arek yang bersifat egaliter atau tidak
menggunakan tingakatan.
Setelah industrialisasi masuk, atau jauh
sebelumnya ketika Surabaya menjadi sebuah pusat pelabuhan masa kolonial wilayah
Surabaya menjadi menarik bagi pendatang dari berbagai wilayah. Menjadikannya
salah satu melting pot atau kuali peleburan kebudayaan di Jatim. Pendatang dari
berbagai kelompok etnis yang ada untuk mencari keuntungan ekonomi yang tumbuh
pesat. Meski luas wilayahnya hanya 17 persen dari keseluruhan luas Jatim,
separuh (49 persen) aktivitas ekonomi Jatim ada di kawasan ini.[6]
Masyarakat pendatang secara sadar maupun tidak menerima kebudayaan Arek
dibuktikan dengan makin banyaknya jumlah pendatang dan macam etnis dari tahun
ke tahun. Para pendatang tersebut secara tidak langsung melebur dengan
kebudayaan lokal yaitu kebudayaan arek. Sehingg para pendatang tersebut menjadi
bagian dari kebudayaan arek. Namun terdapat dampak lain yaitu perlahan-lahan
kebudayaan arek juga mengalami perubahan contoh dalam penggunaan bahasanya,
seperti njegog (belok), ndherok (berhenti), gog (paman), maklik
(tante)[7]
yang sudah tidak digunakan kembali.
Karakter-karater budaya Arek apabila
ditunjukkan berdasarkan porsi masing-masing dapat dijadikan sebuah karakter
representatif dalam mewujudkan masyarakat damai untuk melawan dinamika
mulitikultural, radikalisme, bahkan terorime. Menurut Dr Ananto, tidak ada
tempat bagi terorisme di Surabaya selama karakter arek-arek masih ada.
Terorisme yang mengacu pada siapapun yang tindakannya memberikan rasa ketakutan
dan tidak aman pada rakyat harus diperangi.[8]
Bahkan karakter tersebut dapat dijadikan sebagai karakter bangsa.
Masyarakat multikultural mempunyai
tantangan pergeseran budaya didalamnya. Untuk dapat menjaga keutuhan masyarakat
tersebut diperlukan karakter komunal membentuk sebuah persepsi hidup bersama
dalam suatu komunitas. Karakter terbuka arek Suroboyo dapat menerima
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat dapat dijadikan contoh sikap dalam sebuah
masyarakat multikultural. Arek Suroboyo yang juga mempunyai solidaritas
tinggi juga merupakan suatu bentuk
representasi hidup bersama dalam sebuah masyarkat multikural. Sikap-sikap
positif yang adalam dalam arek Suroboyo merupakan suatu bentuk sikap yang dapat
dijadikan contoh bagi pemuda di wilayah lain untuk menjaga perdamaian
Indonesia.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Surabaya
merupakan sebuah kota multi-etnik yang terdiri berbagai suku baik dari dalam
maupun dari luar. Alasan Surabaya menjadi kota tujuan karena disebabkan oleh
beberapa faktor, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari segi
perekonomian, pendidikan, dll. Keberagaman etnis terutama di kalangan pemuda
Surabaya tidak membuat salah satu diantara mereka ingin menonjolkan
kelompoknya. Dalam berinteraksi sosial pun mereka justru lebih suka menggunakan
bahasa Suroboyoan yang memiliki
dialek khas Bahasa Jawa. Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan serta tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti
Bahasa Jawa pada umumya. Karakter-karater budaya Arek apabila
ditunjukkan berdasarkan porsi masing-masing dapat dijadikan sebuah karakter
representatif dalam mewujudkan masyarakat damai untuk melawan dinamika
mulitikultural, radikalisme, bahkan terorime. Tidak ditemukannya kasus
etnisitas yang mencuat signifikan dapat menjadikan Surabaya sebuah representasi
masyarakat damai.
DAFTAR
PUSTAKA
Ignatius Kristanto Dan Yohan Wahyu, Kuali Peleburan Di
Tlatah Jawa Timur, diakses dari http://Nasional.Kompas.Com/Read/2008/07/21/00594333/Kuali.Peleburan.Di.Tlatah.Jawa.Timu
diakses Senin 20 November 2017 Pukul 21.00 WIB
Kuntowijoyo. 2003. Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Leni, Nurhasanah. 2012. “Demokrasi Dan Budaya Politik Lokal Di Jawa
Timur”. Jurnal
TAPIs Vol.8 No.1.
Rimanews, “Surabaya,
kota Multi-Etnis Cermin Indonesia”, diakses dari.http://archive.rimanews.com/budaya/peradabansejarah/read/20140911/172275/Surabaya-Kota-Multi-etnis-Cermin-Indonesia
pada pukul 22.30 WIB
Supriyanto, Helmi
“Menguatkan Karakter Suroboyoan Menangkal Terorisme”, diakses dari http://harianbhirawa.com/2017/08/menguatkan-karakter-suroboyoan-menangkal-terorisme/
pada 20 November 2017 pukul 22.00 WIB
Windhu, I Marsana. 1992
. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan
Galtung. Yogyakarta : Kanisius.
Yuniarti, Silvi. 2013.
“Hubungan Antar Etnis di Pasar Pabean Surabaya”, dalam Arya W. Wirayuda dan
Bachtiar Ridho E., Mengeja Keseharian,
Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.
[1] Windhu, I
Marsana. 1992 . Kekuasaan dan Kekerasan
menurut Johan Galtung. Yogyakarta : Kanisius. Hlm. 67
[2]Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2003), hlm. 64
[3] Kota Otonom
yang memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri.
[4] Yuniarti,
Silvi. 2013. “Hubungan Antar Etnis di Pasar Pabean Surabaya”, dalam Arya W.
Wirayuda dan Bachtiar Ridho E., Mengeja
Keseharian, Surabaya: Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, hlm.
23.
[5] Rimanews,
“Surabaya, kota Multi-Etnis Cermin Indonesia”, diakses dari.http://archive.rimanews.com/budaya/peradabansejarah/read/20140911/172275/Surabaya-Kota-Multi-etnis-Cermin-Indonesia
pada pukul 22.30
WIB
[6]Ignatius Kristanto Dan Yohan Wahyu, Kuali Peleburan Di
Tlatah Jawa Timur, diakses dari
http://Nasional.Kompas.Com/Read/2008/07/21/00594333/Kuali.Peleburan.Di.Tlatah.Jawa.Timu
diakses Senin 20 November 2017 Pukul 21.00 WIB
[7] Nurhasanah Leni, “Demokrasi Dan Budaya
Politik Lokal Di Jawa Timur”, Jurnal TAPIs Vol.8 No.1, 2012, hlm. 26
[8] Helmi
Supriyanto, “Menguatkan Karakter Suroboyoan Menangkal Terorisme”, diakses dari http://harianbhirawa.com/2017/08/menguatkan-karakter-suroboyoan-menangkal-terorisme/ pada 20
November 2017 pukul 22.00 WIB
0 komentar